Jumat, 20 November 2009

“Nyangkut" di Tengah Setu Patenggang

by Made Teddy Artiana, S. Kom

MTA PHOTOGRAPHY
[karena manusia mulia dan hidupnya berharga]
teddyartiana_photography@yahoo.com

Sebenarnya sudah beberapa kali aku dan team mengunjungi Setu Patenggang, Danau kecil yang terletak dekat kota Bandung ini. Memang pada musim-musim penghujan danau ini tidak tamak terlalu istimewa. Tetapi cobalah berkunjung kesana diwaktu musim kering, maka kita akan menyaksikan sebuah pemandangan lain. Bagi mereka yang pernah jalan-jalan ke pulau Belitung, dan menyewa perahu untuk mengunjungi Pulau-Pukau kecil disekitar Belitung, pastilah akrab dengan pemandangan batu-batu granit besar yang tinggi menjulang, diantara laut jernih berwarna biru kehijauan. Nah, agak mirip dengan yang kita jumpai di Pulau Belitung, Setu Patenggang pun menawarkan pemandangan menakjubkan. Pulau-pulau karang bergerigi yang menyembul keluar diantara air danau yang bening.

Berlima kami menyewa perahu dan berangkat menuju salah satu daratan kecil ditengah danau. Hari itu kabut tampak menyelimuti kaki pohon-pohon pinus yang berderet di tepi pulau. Suasana romantis yang sangat cocok dengan yang diidam-idamkan oleh Andri dan Santhi (bukan nama sebenarnya). Asal tahu saja mereka sudah berbekal sebuah gitar listrik sebagai property tambahan. Lho kok gitar listrik ? Itu karena pinjaman gitar akustik tidak juga kami temui, akhirnya Andri memutuskan untuk membawa gitar listrik kepunyaannya. Agak aneh memang, tapi gak ngaruh lah, yang penting suasana dan gitar.

Perahu merapat kesebuah pulau karang yang memang kami tuju. Setelah menghantarkan mereka berdua, aku dan team mengambil jarak dari pulau karang itu dan memotret dari atas perahu. Kemudian kami pindah kesebuah pulau karang yang lebih besar, yang banyak ditumbuhi oleh pepohonan dan semak belukar.

Sedang asyik memotret tiba-tiba entah dari mana seekor monyet berukuran sedang datang berkunjung. Ini tentu agak mengagetkan bagi kami terutama Santhi karena monyet itu selalu mengikutinya kemanapun Santhi beranjak. Lucu memang, apalagi monyet itu berwajah sangat jinak. Ia bahkan sempat beratraksi dihadapan kami. Berjungkir balik, meloncat-loncat bahkan ticur-tiduran diatas batu. Sayangnya kami tidak membawa perbekalan apapun, untuk diberikan padanya. Karena memang aku tidak pernah tahu ada monyet disekitar sini.

Tepat jam 17.00 WIB kamipun harus meninggalkan pulau itu. Sore mulai menghantar kami pada petang. Mungkin karena kabut, suasana ditempat ini lebih gelap dari yang seharusnya. Si Mamang yang empunya sampan, yang kemudian kami ketahui bernama Asep, segera mendayung sampannya ke tepian. Sementara kami masih tertawa-tawa mengenang monyet yang kami jumpai tadi. Tiba-tiba terdengarlah bunyi bruuukk !! diikuti dengan berhentinya sampan itu. Persis di tengah-tengah danau.

“Kenapa Mang ?”, tanyaku kepada Asep.
“Biasa Den, nyangkut….”, jawabnya kalem sambil menggoyang-goyangkan perahu dengan badannya.
Tapi sampan kecil itu tetap tidak bergerak.
Kini Asep berdiri lalu menggunakan dayungnya mengungkit kesana-sini.
Namun sampan itu tetap tak bergeming. Kami berlima (Andri, Santhi, Aku, Wida dan Ira, adik Sintha), Asep dan sampan itu kini diam. Sampan diam karena nyangkut, Si Asep diam karena berpikir sementara kami diam, karena tegang.
“Emang gak ada trik lain Pak ?,” tanya Wida (istri sekaligus make up artis).
“Tenang Neng…eh maaf coba satu orang pindah dulu kebelakang”, pinta Asep.
Andri yang kebetulan duduk dibagian paling depanpun beranjak pindah ke bagian belakang.
“Ee maaf satu lagi”, kata Asep memberi kode pada Sintha.
Mau tak mau Sintha juga ikut-ikutan ngungsi kebelakang.

Sampan itu kini tampak sudah mulai terangkat bagian depannya, tapi sial ia masih tetap tidak bergerak. Akhirnya satu persatu dari kami harus pindah kebelakang, sehingga sampan itu sekarang sudah dapat dikatakan “standing” diatas permukaan air.

“Pada bisa berenang ?”, tanya Asep sambil memandang kearah kami satu persatu.
“Dari pada berenang, mending disuruh berantem”, sahut Ira ketus.
Ternyata diantara kami berlima, hanya Ira yang sama sekali tidak bisa berenang.
“Tapi Aden yang ini pasti bisa berenang ?”, tanya Asep sambil melirik kearahku.
“Darimana Mamang tahu ?”, tanyaku sambil tersenyum.
“Aden orang Bali khan ? “, ia balik bertanya.
“Emang orang Bali pasti bisa berenang ?”, akupun menjawab dengan pertanyaan.
“Posturnya mirip Anak Pantai di Kuta sana”, sahut Asep, sambil menggerak-gerakkan dayungnya kembali.
“Tapi kameranya Mas Made gak bisa berenang Mang !!!”, potong Ira yang tampaknya semakin senewen dengan topik percakapan ‘berenang’.
Kini sampan itu mulai bergerak-gerak.
“Kameranya khan bisa diatas perahu”, sahut Asep sambil nyengir.
Meskipun dalam gelap, tidak sulit melihat bibir Ira yang berkomat-kamit ngedumel gak karuan.

Tiba-tiba terdengar bunyi bruuukk lagi, diikuti dengan terlepasnya perahu itu dari sangkutannya. “Akhirnya..bebas euuyy..”, teriak Asep lega. Diikuti kalimat syukur dari seluruh awak sampan. Yang heboh Si Ira, saking senangnya ia bertepuk tangan, lalu joget-joget gak karuan.

“Eh..eh..Neng..kalo mau joget..nanti aja !!!”, ujar Asep. Si Ira melirik sinis kearah Asep, lalu bergeser pelan-pelan kebagian depan, diikuti oleh Adi dan Santhi. “Si Mamang teh gak bisa liat orang seneng..”, gerutu Ira.

“Bukan begitu Neng geulis…tadi khan kita semua lagi dibelakang..ntar kallo perahunya kebalik..khan yang paling kasihan Neng sendiri. Bukannya Eneng geulis yang gak bisa berenang diantara kita berenam..Mamang sih seneng-seneng aja dapet jatah menyelamatkan Si Eneng..he..he..he..”, jawab Asep sambil tersenyum melirik kearah kami.
“Tau!”, ujar Ira ngambek.
“Eh si eneng mah kallo marah tambah manis…itu lesung pipinya eleuh-eleuh..kaya Si Iteung euy…”, canda Asep iseng.
“Ra…bukannya minggu lalu baru putus sama Si Budi..udah..mumpung jomblo..katanya suka cowok petualang”, timpal Adi.

Kami pun tertawa menyaksikan adegan itu, sementara Ira menutup wajah yang memerah dengan kedua tangannya, karena menahan malu. **

Tidak ada komentar:

Posting Komentar