Jumat, 20 November 2009

“Bukan Salah Fotografernya Lho !”

by Made Teddy Artiana, S. Kom

MTA PHOTOGRAPHY
[karena manusia mulia dan hidupnya berharga]
teddyartiana_photography@yahoo.com


Prewedding kali ini hanya berjarak satu minggu sebelum hari H. Clientku, yang laki-laki sebut saja Jean, adalah kebangsaan Selandia Baru yang karena travel warning dari negaranya tidak dapat segera tiba di Indonesia, alias telat. Aku sebagai fotografernya memang sempat kebat-kebit juga mendengar kabar ini dari calon mertuanya. Belum prewed padahal waktu tinggal seminggu ! Tetapi kebat-kebitku belum seberapa dibandingkan kebat-kebit calon mertuanya !! Tak terbayangkan bagaimana perasaan mereka saat itu. Yang jelas travel warning bajingan terhadap Indonesia itu menyusahkan banyak pihak.
Akhirnya Si Mr. Bule sebagai pemeran utama, sampai juga di Jakarta. Tanpa skenario aneh-aneh, keesokan harinya preweddingpun dimulai. Masalah travel warning sudah solved, kini muncul masalah baru : lokasi. Calon pengantin wanita, sebut saja bernama Dewi, menginginkan lokasi urban, sedangkan Jean, menginginkan yang ijo-ijo. Setelah berdebat selama satu jam, akhirnya sebagai tuan rumah Dewi mengalah. Berdasarkan clue itu, kamipun meluncur menuju Kebun Raya Bogor, satu-satunya tempat paling hijau yang dekat dengan Jakarta.
Setibanya disana, masalah ketigapun nongol : Dewi, walaupun berparas cantik dan berpostur ideal, percaya atau tidak, ternyata bukan tipe wanita yang PD untuk difoto. Dan habislah waktu setengah hari dengan mimik-mimik grogi Dewi menghiasi foto-foto mereka. Baguuussss !!!
Tak urung ini membuat Jean uring-uringan, bukan hanya Jean. Dewi tentunya jauh lebih tersiksa lagi. Akhirnya kuputuskan untuk break sebentar demi mengatur strategi. Jean yang sudah hampir putus asa itu, kami bebaskan untuk pergi menikmati ijo-ijonya Kebun Raya bogor. Sementara Dewi, pasien ini harus mendapat treatment khusus. Aku dan team, membawa Dewi kesebuah lokasi dan memintanya untuk berphose sederhana beberapa sesi. Mulanya Dewi menolak, tetapi setelah mendengar jaminan dariku : bahwa aku akan menuruti apapun kemauannya, termasuk menghentikan prewedding ini, jika ia menganggap dirinya tetap tidak photogenic. Sebuah tantangan yang menegangkan.

“Kamu cantik Dewi.”, kataku sambil menatapnya bersungguh-sungguh,”Dan aku akan membuktikan bahwa kamu juga photogenic. Hanya saja kamu harus menuruti command-command simple dari aku. Deal ?”
Dewi mengangguk setuju. Wajahnya sempat memerah ketika kubilang betapa cantiknya ia. Tetapi wajahnya berubah jadi serius, karena aku memang tidak sedang merayu. Aku serius.
Sejenak kuamati wajah manis Dewi untuk menemukan angle mana dia terlihat paling cantik. Dibantu cahaya matahari, tugas menegangkan itu berhasil kami selesaikan. Tiga buah foto tercipta. Kini giliran Dewi untuk menilai foto-foto itu. Segera sesudah kamera itu ditangannya, Dewi segera menutup wajahnya yang memerah dengan tangannya, sambil tersenyum malu.
“Apa ku bilang..?”, tanyaku merasa memenangkan kontes ini.
Dewi tak sanggup mengatakan sepatah katapun, selain “Aku cantik yah..iihhh..maluuu..”, lalu tertawa geli sendiri.

Kelanjutan prewedding selanjutnya mudah ditebak. Tanpa kesulitan yang berarti. Singkat cerita mereka berdua akhirnya menikah, lalu berangkat kembali ke Selandia Baru. Kira-kira delapan bulan kemudian, orang tua Dewi mengundangku datang kerumah mereka, karena kakak Dewi akan segera menikah. Another project.

Ketika tiba dirumah Dewi, orang tuanya segera bercerita bahwa Dewi, di Selandia Baru sana, jadi doyan banget foto-foto..sampai-sampai mengundang kecemburuan dari Jean, suaminya. Kabarnya dinding rumah mereka hingga penuh sesak digantungi foto Dewi. Bahkan tak jarang terjadi keributan kecil, karena narsisme Dewi yang dirasa kelewatan oleh sang suami. Ketika orang tua Dewi, mendapat kesempatan untuk berkunjung ke Selandia Baru, merekapun tampak terheran-heran dengan kelakuan Dewi. Lucunya ketika ditanya,Dewi malah beralasan “Ini gara-gara Mas Teddy..ha..ha..ha..ha..”. Dasar !!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar