Jumat, 20 November 2009

Demam Berdarah : Antara Jogja dan Perancis

by Made Teddy Artiana, S. Kom

MTA PHOTOGRAPHY
[karena manusia mulia dan hidupnya berharga]
teddyartiana_photography@yahoo.com


Schedule prewedding tinggal tiga hari lagi. Clientku Mala dan Pierre (bukan nama sebenarnya) bahkan sudah beberapa hari yang lalu berangkat dari Perancis. Memang mereka punya rencana berlibur beberapa hari, sebelum akhirnya prewedding di Jogjakarta. Semua telah siap, ticket, crew, perlengkapan dan lain sebagainya. Hanya satu yang belum : Fotografernya yaitu aku sendiri. Disini disebuah rumah sakit tak jauh dari rumah, aku terbaring tak berdaya ditemani infus. Tubuhku memang disini, tetapi pikiran ini melayang-layang sampai kecandi Borobudur. Aku sama sekali tidak ingin berlama-lama ditempat ini.

Demam Berdarah sama sekali bukan penyakit yang dapat dipandang sebelah mata. Sudah banyak orang telah “berpulang” lewat perantaraan penyakit ini. Untunglah trombositku sudah jauh membaik. Seluruh dokter dirumah sakit itu, juga nyaris tidak percaya pemulihan pada diri ku terjadi sebegitu cepat.

“Kamu boleh pulang besok pagi. Tetapi ingat : harus bedrest dulu !!!”, wanti-wanti salah seorang dokter spesialis yang kebagian tugas mengurusi ku.
“Siap !!”, jawabku singkat, tak ingin berpanjang lebar dengan penyakit menyebalkan ini. Aku benar-benar sudah merasa kangen dengan kamera dan laptopku dirumah. Dengan istri ? pastilah…namanya juga soulmates .

Singkat cerita akhirnya tibalah aku dan team di Jogja. Kami bertemu dengan Mala dan Pierre lalu preweddingpun dimulai. Hari pertama, tujuan utama kami adalah candi Bobobudur. Entah mengapa candi ini begitu meninggalkan kesan mendalam didiriku. Kagum, salut dan bangga, kira-kira seperti itu. Begitu melihat sosoknya dari kejauhan, kaki-kaki yang selama tiga hari terbaring bengong di rumah sakit, seakan menari-nari ingin mendakinya. Begitu jari-jari ku menggenggam kamera photo, saran dokter tentang “bedrest” sudah lenyap tak berbekas dikepala. Aku memotret seolah-olah lupa bahwa baru dua hari yag lalu aku terbaring ditempat tidur besi, yang kepala tempat tidurnya bisa dinaik atau turunkan ketika menonton TV terpajang tinggi di dinding. Sungguh-sungguh menyenangkan.

Hari kedua tak kalah mengasikan, kami menysuri beberapa pantai di Jogja. Benar-benar pantai yang indah. Tak terasa dua hari berlalu, dan preweddingpun usai. Kami saling berpamitan. Aku dan Wida kembali kerumah Eyang, sedangkan mereka meneruskan perjalanan ke bandara Adisucipto lalu langsung terbang ke Jakarta. Sore harinya badanku terserang panas tinggi, hingga besok pagi. Untunglah keesokan harinya, suhu tubuhku sudah berada pada titik normal. Praise The Lord !!
Rupanya benar juga kata buku-buku motivasi dan psikologi, bahwa jika kita mencintai sesuatu maka keajaiban akan terjadi disana.

Nafsu Besar, Tenaga Nggak Besar

by Made Teddy Artiana, S. Kom

MTA PHOTOGRAPHY
[karena manusia mulia dan hidupnya berharga]
teddyartiana_photography@yahoo.com


“Ini list lokasi prewedding kita, Mas”, kata Vini (bukan nama sebenarnya) ketika baru saja aku dan Wida mendudukkan pantat kami di jok mobil. Aku mengulurkan tangan, mengambil agenda kecil itu. Disana tertulis, hari pertama : Curug Cimahi, Kebun Strawbery, Kawah Putih, Ciwalini, Situ Patenggang, Kampung Daun. Hari kedua : Tangguban Perahu, Sapu Lidi, Braga, Ciwalk.

“Kok senyum Mas ?”, tanya Vini melihat reaksiku membaca daftar yang mereka buat.
“Semua kejangkau khan dalam dua hari ?”, kejarnya lagi
“Oh kejangkau sih Vin”, jawab ku,”Cuma..”
“Cuma apa Mas”

Frans (juga bukan nama sebenarnya) kini ikut-ikutan menoleh kebelakang, menunggu penjelasanku.
“Secara lokasi pastilah kejangkau, hanya saja masalahnya di fisik”
“Maksudnya ?”, tanya Frans
“Sebenarnya Curug Cimahi itu medannya gak terlalu berat”, ujarku berusaha menjelaskan, “tapi tetap. memerlukan kondisi fisik yang oke karena kita turun sekedar 300-400m kebawah. Turun tentunya gak masalah..”
“Naiknya ya Mas ?”, potong Vini.
Aku pun mengangguk sambil tersenyum.

“Terus..”, aku melanjutkannya, ”kalau tujuan itu kalian gabung dengan kawah putih, aku kuatir…eh tapi kallo kalian sering aerobik atau olah raga sih gak masalah ya, tapi kallo enggak kayanya bakal ngos-ngosan deh..karena kawah putih juga ada naik tangganya meskipun gak jauh”. Mereka berdua terlihat berpandangan sejenak,”Tapi kayanya aku siap sih as,” ujar Vini bersemangat.

“Anyway..you’re the Boss..you wish is my command”, ujarku sambil tersenyum.

Rudy, The Driver pun, segera tancap gas dan mobil yang penuh sesak dengan gantungan pakaian itu melaju ke arah Bandung.

Singkat cerita, tibalah kami di Curug Cimahi, sekitar pukul 10.00 WIB. Setelah membayar tiket masuk, kami berlima : Aku dan Wida (istri sekaligus makeup artist), Frans, Vini dan Rudy pun turun perlahan kearah air terjun yang memang berada dibawah.

“Masih jauh ya Mas ?”, tanya Vini ketika baru saja sekitar 10 menit kami menuruni tangga-tangga itu.
“Ah Enggak kok Vin.. suara airnya khan udah kedengaran”, jawab Wida menghiburnya.

Tak berapa lama kamipun tiba di lokasi air terjun. Kamipun segera bersiap. Frans berganti baju, Wida me-makeup Vini, Aku menyiapkan kamera, sementara Rudy sibuk mencari wig yang sudah disiapkan Vini didalam koper bawaannya.

Prewedding berlangsung sekitar satu jam dan tampaknya mereka berdua sangat menikmati suasana di lokasi. Memang saat itu air terjun Curug Cimahi sedang bagus-bagusnya. Apalagi pengunjung memang sedang sepi. Klop ! Dunia milik kita berlima.

Kini tibalah bagian yang agak kurang menyenangkan, yaitu : mendaki naik kembali ketempat parkiran ! Wajah Vini yang tadi sumringah langsung berubah pada saat ia menapakkan kaki dianak tangga pertama. Dan terus semakin bertambah kusut, berbanding lurus dengan bertambahnya anak tangga yang kami pijak.

“Berhenti dulu Ko !”, pinta Vini dengan nafas tersengal-sengal.
Ini sudah kedua kalinya Vini meminta waktu untuk beristirahat kepada Frans. Aku dan Wida yang memang sengaja berjalan dibelakang merekapun ikut-ikutan berhenti menemani Vini yang wajahnya sudah tampak memucat.

Vini duduk disebuah tempat duduk dari batang kayu besar, dengan mata nanar. “Mata gue kunang-kunang nih”, katanya sambil mengucek-ucek kedua matanya.
“Lagian elu disuruh sarapan gak nurut”, timpal Frans sambil menyeka keringa didahi dan lehernya.
“Aduh kunang-kunangnya gak ilang-ilang nih”, teriak Vini gusar.
“Coba tarik nafas panjang”, seru Wida..
“Kok sekarang gelap..Mbak..kok gelap..?”, kini Vini tampak semakin ketakutan,“Koko..!! Koooo..elu dimana ?”

Vini berteriak-teriak hampir menangis memanggil Frans. Franspun ikutan panik kemudian buru-buru mendekati Vini dan memegang erat tangannya yang mengapai-gapai gak karuan.

“Mas apa dia kesurupan ?”, tanya Frans dengan wajah gugup kepadaku.
“Aahh gak lah..cuman kecapean. Frans mundur dikit deh…”, jawab ku,” biar Vini dapat udara bebas..Vini tarik nafas yang dalam Vin…merem aja…tenang..tarik nafas….tenang…”

Beberapa saat kemudian Vinipun tidak sadar alias pingsan. Mungkin karena kecapean atau memang kondisi tubuhnya sedang tidak prima. Dan terpaksa sesi prewedding yang begitu ambisius itu harus dihentikan sementara waktu, hingga menunggu pemain utamanya sadar. Hampir dapat dipastikan bahwa jumlah lokasi akan drastis berkurang setelah Vini sadar nanti. Untunglah tak lama kemudian Vini siuman, kalau tidak, mau tak mau Frans harus rela melakukan tugas yang hanya bisa dikerjakan olehnya. Tugas itu adalah : menggendong calon istrinya itu mendaki tangga menuju tempat parkir mobil yang masih setengah perjalanan jauhnya **

“Nyangkut" di Tengah Setu Patenggang

by Made Teddy Artiana, S. Kom

MTA PHOTOGRAPHY
[karena manusia mulia dan hidupnya berharga]
teddyartiana_photography@yahoo.com

Sebenarnya sudah beberapa kali aku dan team mengunjungi Setu Patenggang, Danau kecil yang terletak dekat kota Bandung ini. Memang pada musim-musim penghujan danau ini tidak tamak terlalu istimewa. Tetapi cobalah berkunjung kesana diwaktu musim kering, maka kita akan menyaksikan sebuah pemandangan lain. Bagi mereka yang pernah jalan-jalan ke pulau Belitung, dan menyewa perahu untuk mengunjungi Pulau-Pukau kecil disekitar Belitung, pastilah akrab dengan pemandangan batu-batu granit besar yang tinggi menjulang, diantara laut jernih berwarna biru kehijauan. Nah, agak mirip dengan yang kita jumpai di Pulau Belitung, Setu Patenggang pun menawarkan pemandangan menakjubkan. Pulau-pulau karang bergerigi yang menyembul keluar diantara air danau yang bening.

Berlima kami menyewa perahu dan berangkat menuju salah satu daratan kecil ditengah danau. Hari itu kabut tampak menyelimuti kaki pohon-pohon pinus yang berderet di tepi pulau. Suasana romantis yang sangat cocok dengan yang diidam-idamkan oleh Andri dan Santhi (bukan nama sebenarnya). Asal tahu saja mereka sudah berbekal sebuah gitar listrik sebagai property tambahan. Lho kok gitar listrik ? Itu karena pinjaman gitar akustik tidak juga kami temui, akhirnya Andri memutuskan untuk membawa gitar listrik kepunyaannya. Agak aneh memang, tapi gak ngaruh lah, yang penting suasana dan gitar.

Perahu merapat kesebuah pulau karang yang memang kami tuju. Setelah menghantarkan mereka berdua, aku dan team mengambil jarak dari pulau karang itu dan memotret dari atas perahu. Kemudian kami pindah kesebuah pulau karang yang lebih besar, yang banyak ditumbuhi oleh pepohonan dan semak belukar.

Sedang asyik memotret tiba-tiba entah dari mana seekor monyet berukuran sedang datang berkunjung. Ini tentu agak mengagetkan bagi kami terutama Santhi karena monyet itu selalu mengikutinya kemanapun Santhi beranjak. Lucu memang, apalagi monyet itu berwajah sangat jinak. Ia bahkan sempat beratraksi dihadapan kami. Berjungkir balik, meloncat-loncat bahkan ticur-tiduran diatas batu. Sayangnya kami tidak membawa perbekalan apapun, untuk diberikan padanya. Karena memang aku tidak pernah tahu ada monyet disekitar sini.

Tepat jam 17.00 WIB kamipun harus meninggalkan pulau itu. Sore mulai menghantar kami pada petang. Mungkin karena kabut, suasana ditempat ini lebih gelap dari yang seharusnya. Si Mamang yang empunya sampan, yang kemudian kami ketahui bernama Asep, segera mendayung sampannya ke tepian. Sementara kami masih tertawa-tawa mengenang monyet yang kami jumpai tadi. Tiba-tiba terdengarlah bunyi bruuukk !! diikuti dengan berhentinya sampan itu. Persis di tengah-tengah danau.

“Kenapa Mang ?”, tanyaku kepada Asep.
“Biasa Den, nyangkut….”, jawabnya kalem sambil menggoyang-goyangkan perahu dengan badannya.
Tapi sampan kecil itu tetap tidak bergerak.
Kini Asep berdiri lalu menggunakan dayungnya mengungkit kesana-sini.
Namun sampan itu tetap tak bergeming. Kami berlima (Andri, Santhi, Aku, Wida dan Ira, adik Sintha), Asep dan sampan itu kini diam. Sampan diam karena nyangkut, Si Asep diam karena berpikir sementara kami diam, karena tegang.
“Emang gak ada trik lain Pak ?,” tanya Wida (istri sekaligus make up artis).
“Tenang Neng…eh maaf coba satu orang pindah dulu kebelakang”, pinta Asep.
Andri yang kebetulan duduk dibagian paling depanpun beranjak pindah ke bagian belakang.
“Ee maaf satu lagi”, kata Asep memberi kode pada Sintha.
Mau tak mau Sintha juga ikut-ikutan ngungsi kebelakang.

Sampan itu kini tampak sudah mulai terangkat bagian depannya, tapi sial ia masih tetap tidak bergerak. Akhirnya satu persatu dari kami harus pindah kebelakang, sehingga sampan itu sekarang sudah dapat dikatakan “standing” diatas permukaan air.

“Pada bisa berenang ?”, tanya Asep sambil memandang kearah kami satu persatu.
“Dari pada berenang, mending disuruh berantem”, sahut Ira ketus.
Ternyata diantara kami berlima, hanya Ira yang sama sekali tidak bisa berenang.
“Tapi Aden yang ini pasti bisa berenang ?”, tanya Asep sambil melirik kearahku.
“Darimana Mamang tahu ?”, tanyaku sambil tersenyum.
“Aden orang Bali khan ? “, ia balik bertanya.
“Emang orang Bali pasti bisa berenang ?”, akupun menjawab dengan pertanyaan.
“Posturnya mirip Anak Pantai di Kuta sana”, sahut Asep, sambil menggerak-gerakkan dayungnya kembali.
“Tapi kameranya Mas Made gak bisa berenang Mang !!!”, potong Ira yang tampaknya semakin senewen dengan topik percakapan ‘berenang’.
Kini sampan itu mulai bergerak-gerak.
“Kameranya khan bisa diatas perahu”, sahut Asep sambil nyengir.
Meskipun dalam gelap, tidak sulit melihat bibir Ira yang berkomat-kamit ngedumel gak karuan.

Tiba-tiba terdengar bunyi bruuukk lagi, diikuti dengan terlepasnya perahu itu dari sangkutannya. “Akhirnya..bebas euuyy..”, teriak Asep lega. Diikuti kalimat syukur dari seluruh awak sampan. Yang heboh Si Ira, saking senangnya ia bertepuk tangan, lalu joget-joget gak karuan.

“Eh..eh..Neng..kalo mau joget..nanti aja !!!”, ujar Asep. Si Ira melirik sinis kearah Asep, lalu bergeser pelan-pelan kebagian depan, diikuti oleh Adi dan Santhi. “Si Mamang teh gak bisa liat orang seneng..”, gerutu Ira.

“Bukan begitu Neng geulis…tadi khan kita semua lagi dibelakang..ntar kallo perahunya kebalik..khan yang paling kasihan Neng sendiri. Bukannya Eneng geulis yang gak bisa berenang diantara kita berenam..Mamang sih seneng-seneng aja dapet jatah menyelamatkan Si Eneng..he..he..he..”, jawab Asep sambil tersenyum melirik kearah kami.
“Tau!”, ujar Ira ngambek.
“Eh si eneng mah kallo marah tambah manis…itu lesung pipinya eleuh-eleuh..kaya Si Iteung euy…”, canda Asep iseng.
“Ra…bukannya minggu lalu baru putus sama Si Budi..udah..mumpung jomblo..katanya suka cowok petualang”, timpal Adi.

Kami pun tertawa menyaksikan adegan itu, sementara Ira menutup wajah yang memerah dengan kedua tangannya, karena menahan malu. **

“Bukan Salah Fotografernya Lho !”

by Made Teddy Artiana, S. Kom

MTA PHOTOGRAPHY
[karena manusia mulia dan hidupnya berharga]
teddyartiana_photography@yahoo.com


Prewedding kali ini hanya berjarak satu minggu sebelum hari H. Clientku, yang laki-laki sebut saja Jean, adalah kebangsaan Selandia Baru yang karena travel warning dari negaranya tidak dapat segera tiba di Indonesia, alias telat. Aku sebagai fotografernya memang sempat kebat-kebit juga mendengar kabar ini dari calon mertuanya. Belum prewed padahal waktu tinggal seminggu ! Tetapi kebat-kebitku belum seberapa dibandingkan kebat-kebit calon mertuanya !! Tak terbayangkan bagaimana perasaan mereka saat itu. Yang jelas travel warning bajingan terhadap Indonesia itu menyusahkan banyak pihak.
Akhirnya Si Mr. Bule sebagai pemeran utama, sampai juga di Jakarta. Tanpa skenario aneh-aneh, keesokan harinya preweddingpun dimulai. Masalah travel warning sudah solved, kini muncul masalah baru : lokasi. Calon pengantin wanita, sebut saja bernama Dewi, menginginkan lokasi urban, sedangkan Jean, menginginkan yang ijo-ijo. Setelah berdebat selama satu jam, akhirnya sebagai tuan rumah Dewi mengalah. Berdasarkan clue itu, kamipun meluncur menuju Kebun Raya Bogor, satu-satunya tempat paling hijau yang dekat dengan Jakarta.
Setibanya disana, masalah ketigapun nongol : Dewi, walaupun berparas cantik dan berpostur ideal, percaya atau tidak, ternyata bukan tipe wanita yang PD untuk difoto. Dan habislah waktu setengah hari dengan mimik-mimik grogi Dewi menghiasi foto-foto mereka. Baguuussss !!!
Tak urung ini membuat Jean uring-uringan, bukan hanya Jean. Dewi tentunya jauh lebih tersiksa lagi. Akhirnya kuputuskan untuk break sebentar demi mengatur strategi. Jean yang sudah hampir putus asa itu, kami bebaskan untuk pergi menikmati ijo-ijonya Kebun Raya bogor. Sementara Dewi, pasien ini harus mendapat treatment khusus. Aku dan team, membawa Dewi kesebuah lokasi dan memintanya untuk berphose sederhana beberapa sesi. Mulanya Dewi menolak, tetapi setelah mendengar jaminan dariku : bahwa aku akan menuruti apapun kemauannya, termasuk menghentikan prewedding ini, jika ia menganggap dirinya tetap tidak photogenic. Sebuah tantangan yang menegangkan.

“Kamu cantik Dewi.”, kataku sambil menatapnya bersungguh-sungguh,”Dan aku akan membuktikan bahwa kamu juga photogenic. Hanya saja kamu harus menuruti command-command simple dari aku. Deal ?”
Dewi mengangguk setuju. Wajahnya sempat memerah ketika kubilang betapa cantiknya ia. Tetapi wajahnya berubah jadi serius, karena aku memang tidak sedang merayu. Aku serius.
Sejenak kuamati wajah manis Dewi untuk menemukan angle mana dia terlihat paling cantik. Dibantu cahaya matahari, tugas menegangkan itu berhasil kami selesaikan. Tiga buah foto tercipta. Kini giliran Dewi untuk menilai foto-foto itu. Segera sesudah kamera itu ditangannya, Dewi segera menutup wajahnya yang memerah dengan tangannya, sambil tersenyum malu.
“Apa ku bilang..?”, tanyaku merasa memenangkan kontes ini.
Dewi tak sanggup mengatakan sepatah katapun, selain “Aku cantik yah..iihhh..maluuu..”, lalu tertawa geli sendiri.

Kelanjutan prewedding selanjutnya mudah ditebak. Tanpa kesulitan yang berarti. Singkat cerita mereka berdua akhirnya menikah, lalu berangkat kembali ke Selandia Baru. Kira-kira delapan bulan kemudian, orang tua Dewi mengundangku datang kerumah mereka, karena kakak Dewi akan segera menikah. Another project.

Ketika tiba dirumah Dewi, orang tuanya segera bercerita bahwa Dewi, di Selandia Baru sana, jadi doyan banget foto-foto..sampai-sampai mengundang kecemburuan dari Jean, suaminya. Kabarnya dinding rumah mereka hingga penuh sesak digantungi foto Dewi. Bahkan tak jarang terjadi keributan kecil, karena narsisme Dewi yang dirasa kelewatan oleh sang suami. Ketika orang tua Dewi, mendapat kesempatan untuk berkunjung ke Selandia Baru, merekapun tampak terheran-heran dengan kelakuan Dewi. Lucunya ketika ditanya,Dewi malah beralasan “Ini gara-gara Mas Teddy..ha..ha..ha..ha..”. Dasar !!



Kisah Sedih Dari Sidney

by Made Teddy Artiana, S. Kom

MTA PHOTOGRAPHY
[karena manusia mulia dan hidupnya berharga]
teddyartiana_photography@yahoo.com


Cerita ini ditulis dengan sebuah keprihatinan yang dalam. Sama sekali tidak bermaksud buruk. Apalagi untuk bersenang-senang diatas penderitaan orang lain. Tetapi biarlah menjadi sebuah pelajaran berharga bagi para calon pengantin, terutama orang tua dan keluarga besar mereka.
Rendy dan Dyane (bukan nama sebenarnya), sama-sama bermukim di salah satu negara bagian di Ausie sana. Mereka mengenal ku dari kakak mereka yang yang kebetulan photography dan wedding organizernya kami tangani juga. Mengenal mereka merupakan sebuah kebahagian tersendiri buat kami. Bukan hanya karena kami sudah mengenal keluarga besar mereka, tetapi juga karena kepribadian mereka yang unik. Kritis, agak cerewet tapi baik. Karena jarak, jadi technical meeting lebih sering kami adakan via telepon dan email, sesekali kami memang bertemu, ketika mereka kebetulan berada di Indonesia.
Segalanya baik-baik saja pada awalnya. Segalanya telah kami rencanakan bersama dengan matang. Segala persiapan yang bersangkut paut dengan photo dan WO dipernikahan nanti, sudah beres jauh-jauh hari sebelum hari H mereka. Kami tinggal menghitung hari.
Mengenai prewedding misalnya. Rencananya kami akan bertemu di Bali, mereka langsung dari Ausie dan kami dari Jakarta. Lokasi prewed, penginapan dan ticket pun sudah siap. Tinggal berangkat.
Namun 10 hari menjelang keberangkatan itu, kami menerima kabar yang sangat mengejutkan. Dyane pada saat itu sedang di Jakarta menghubungi via telepon kami sambil menangis tersedu-sedu. Ternyata sebuah tragedi menimpa mereka. Karena suatu sebab-yang tentunya tidak ingin kami ceritakan-keluarga mereka bersitegang. Tidak hanya itu, hubungan mereka berduapun ikut-ikutan memburuk. Pertengkaran kedua kubu memuncak hingga berujung pada pembatalan pernikahan mereka berdua. Gedung sudah booking, catering sudah bayar, undangan kebetulan diurus oleh Wedding Organizernya Wida (istriku) pun sudah selesai dicetak, tapi pernikahan itu sendiri dibubarkan. Jika mengingat kemesraan mereka berdua, peristiwa ini terasa seperti mimpi. Curhat Dyane selama hampir 4 jam itu, kami tanggapi dengan sangat prihatin. Malamnya, curhat berlanjut, entah berapa jam lamanya. Tidak hanya itu, keesokan harinya kami dihubungi juga oleh pihak keluarga Rendy (CPP). Ayah Rendy yang memang sudah kenal dekat dengan kami, bercerita juga panjang lebar, sambil menangis tentang kejadian ini, hampir selama 3 jam nonstop. Kabar terakhir kami dengar bahwa Rendy dilarikan ke Hongkong, karena yang bersangkutan mengalami stress berat.
Malamnya, aku dan istri meluangkan waktu khusus untuk berdoa buat Rendy dan Dyane beserta keluarga mereka. Kiranya TUHAN mendamaikan kedua keluarga besar ini, atau paling tidak mengeringkan luka-luka bathin mereka segera.
Siapa yang salah ? Sangat sulit mencari benang kusut itu, apalagi jika persoalan harga diri kental terlibat didalamnya. Cinta memang perlu pengorbanan, kadang bahkan pengorbanan harga diri. Tetapi yang perlu diwaspadai adalah jika cinta dikorbankan demi ego sekelompok orang. Walaupun dengan alasan harga diri.

Guys…kami sangat prihatin akan apa yang menimpa kalian. Semoga TUHAN yang baik suatu hari nanti mempertemukan kalian kembali. Dan semoga TUHAN melindungi persiapan semua calon pengantin dimanapun mereka berada, sehingga tragedi Rendy-Dyane tidak terulang kembali. **

Kamis, 19 November 2009

Prewedding Nunjuk !!

by Made Teddy Artiana, S. Kom

MTA PHOTOGRAPHY
[karena manusia mulia dan hidupnya berharga]
teddyartiana_photography@yahoo.com

Cerita ini menggelikan. Lucu tapi nyata.
Kami pernah punya pengalaman unik dengan client kami ini. Sembilan tahun pacaran dan akhirnya menikah setelah melewati berbagai tantangan dari kedua belah pihak keluarga.Bukan sesuatu yang mudah memang..tapi Love stronger then everything..

Jadi mereka meminta aku mencari sebuah tema prewedding yang melambangkan kekuatan & ketegaran cinta mereka. PR yang lumayan..

Pada saat teknikal meeting seminggu sebelum preweddingSi Cowok sebut saja Binsar (memang kebetulan dia orang Medan)mengultimatum ku..

"Pokoknya Bli..(sebutan Mas untuk orang Bali)Aku nggak mau...ada adegan yang tunjuk menunjuk itu. Macam Mana itu !!" ujarnya bersemangat.
Aku dan Wida-istriku- hanya tersenyum."Bang..itu selera. Aku pun nggak pernah memaksa orang untukberadegan nunjuk", kata ku sambil menahan tawa,"aku lebih suka prewedding itu candid dan urban. Tapi maunya client itu beda-beda Bang".

"Pokoknya aku nggak mau disuruh nunjuk !", kata Binsar sambilmenoleh kearah pasangannya.
Pasangannya hanya tersenyum sambil melirik kearahku."Sabar ya Mas..", katanya setengah berbisik.
"Oh nggak apa-apa kok", sahut kami sambil tersenyum geli.

Hari berlalu dan saat preweddingpun tiba.Pemilihan lokasi : Anyer.
Mereka kuminta berdiri tegakdisekumpulan batu karang yang aman, tetapi terkena deburan ombak.Aku dan crew melakukan testing dilokasi, memastikan tempat yang kami pilih aman.Setelah semuanya siap mereka pun kuminta berdiri diatas karang itu.Sedikit menerangkan konsep prewedding, supaya penghayatannya dalem :-)

Si Abang Binsar tampak tersenyum senang, "Keren kali konsep kau itu...sampai merinding aku..nih liat..",serunya sambil menepuk bahuku,"dasar Bali kau..ha..ha..ha..!!!"
Aku hanya tersenyum. Kemudian menyiapkan alat tempur alias kameraku.
Kami semua bersiap...tinggal menunggu ombak.Ombak pertama datang menghantam karang. Percikannya membasahi baju dan rambut mereka...cleint ku terlihat begitumenghayati adegan ini..terutama Bang Binsar ia tampakbegitu bersemangat...bahkan terlihat dia mulai mengusulkan beberapa gaya baru.Rupanya chemistry sudah mulai terbangun dan Adrenalin mulai naik.Beberapa photo kami ambil...

Setelah sekian lama tiba-tibaBang Binsar berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan tangan..dari batu karang itu..Aku dan crew saling berpandangan. Masing-masing mengerutkan kening.Kami memang agak kesulitan mendengar Bang Binsar karena tersamar suara deburan ombak.Akhirnya kamipun mencoba mendekat kearah mereka.

Setelah kami mendekat..barulah jelas kata-katayang diteriakkan oleh Bang Binsar.Serempak kami semua tertawa terbahak-bahaktak terkecuali Bang Binsar dengan wajah yang memerah menahan malu.Mau tahu nggak apa yang ingin dikatakan sama Si Abang.

Dia bilang..."Boleh nggak kalau aku MENUNJUK kearah situ sepertinya MANTAP KALI!!!!"***

Cinta Ku..Sekuat Pegangan Ku

by Made Teddy Artiana, S. Kom


MTA PHOTOGRAPHY
[karena manusia mulia dan hidupnya berharga]
teddyartiana_photography@yahoo.com


Si Bang Binsar –sekali lagi bukan nama sebenarnya – semakin bersemangat. Air laut yang membasahi baju di badannya yang berotot, mata yang berkilat-kilat bak Sisingamangaraja, deburan ombak, karang semuanya terasa bergabung menjadi obat “pemacu adrenalin” yang –kata orang Medan- Mantap Kaliii !!!

Terus terang kami geli setengah mati melihat tingkah dan ekspresi si Abang. Peran pengatur gaya diambil alih olehnya. Ide-ide gaya pun bermunculan bak jamur dimusin hujan. Gaya gendonglah..gaya kissing lah..gaya berpelukan.. ck..ck.ck. Mengenai penghayatan ? Jangan ditanya. Acting nari Kajool dan acting nangis Sahrukh Kan…putuuussss !! Emang India aja yang bisa..Batak juga jago…
Tetapi ada gaya yang tidak bisa aku kabulkan….B e r e n a n g….yang ini No Way !! To Dangerous…

“Bli”, teriak Si Binsar untuk kesekian kali,”bagaimana kalau dikarang itu kita duduk berdua berdampingan”. Dia menunjuk kearah karang disebelah kiri mereka. Posisinya jauh lebih rendah dari yang kurekomendasikan. Aku terdiam sejenak. Aman nggak yah..bathinku dalam hati. “Ahhhh tenang saja..” teriak Binsar seolah mengetahui kekawatiranku,”Aman itu..lagian khan kita berdua bisa berenang..Tak usah takut lah kau..”. Aku hanya tersenyum. Bukan masalah berenang nih gumanku…aku juga perenang bahkan nyaris jadi Beach Boy di Kuta sana..he..he..he..
“Tapi Bang..”
“Alaaaaah sudahlah..sekali saja..ya tenang saja ombak juga nggak terlalu besar ini”, teriaknya kembali.
Akhirnya aku terpaksa setuju.
Mereka duduk berdampingan diatas sebuah batu karang.
“Tunggu ombak yaaa…kalau bisa yang agak besar”, teriak si Binsar kepadaku, sambil badan dan wajahnya tetap pada posisi ready to shoot.
Beberapa ombak kecil berdatangan silih berganti. Tiba-tiba sebuah ombak yang cukup besar terlihat bergulung dari kejauhan. Meskipun agak kuatir terhadap mereka. Aku harus bersiap.
“Bang ini agak besar…!!! Hati-hati yaaa..!!!” teriakku sekuat tenaga.
Ombak yang cukup besar itu tiba-tiba jadi..”agak kebesaran”..dan akhirnya menghantam mereka berdua.…..BYUUUUUUUUURRRRR !!!
Sejenak keduanya seolah tertelah deburan ombak…
Aku dan crew yang berdiri agak jauh berlari ketepian..sambil melindungi kamera dan alat-alat kami. Ombak itu berlalu…dan ya ampuuuuuuuuun…
Dibatu karang itu tinggal Bang Binzar ‘bertengger’ seorang diri…dia tampak agak shock…Tapi sepertinya ada yang aneh…..lho tadikhan ada dua orang disitu…kemana ceweknya ??? Wah gawat….!!!
Aku dan crew dengan panik segera berlari menuju arah mereka. Ternyata hempasan ombak itu membuat Si Cewek pasangan Bang Binzar –sebut saja Mona- itu terjerembab..jatuh. Rupanya persis didepan karang ada cekungan setinggi kurang lebih satu meteran. Nah..Mona..nyungsep kesitu. Tanpa ba..bi..bu..kami segera menolong Mona..sementara Bang Binzar yang terlihat putih karena pucat itu, masih terbengong-bengong ditempatnya. Rupanya nyawanya belum ngumpul bener.

Susah payah kami mengangkat Mona yang basah kuyub ke atas batu karang..
“Nggak apa-apa khan Mon..” kataku sambil mengamatinya cemas. Basah kuyub, rambut lepek, wajah memerah…

Tetapi Mona tidak menggubris pertanyaanku. Dia segera mendekati Bang Binzar..dan meninju berkali-kali dada, lengan dan menarik-narik baju si Abang..sambil setengah menangis…dan mata melotot Mona ngomel sejadi-jadinya..

“AKU NGGAK DIPEGANGIN SIH !!! UDAH TAU OMBAKNYA GEDE…DASAR EGOIS !! MAUNYA SELAMAT SENDIRI !!! KATANYA CINTA…GOMBAL !!! BARU OMBAK AJA AKU UDAH DIBIARIN…KESEEEEEEEEEELL !!! MALAH PEGANGAN SENDIRI…. ABANG JAHAAT !!!!! NTAR AKU BILANG DEH SAMA MAMA PAPAKU…!!!”

Kami semua pecah oleh tawa..menyaksikan ekresi kecut Bang Binzar yang cuma bisa cengar-cengir..sambil..berkata ”Maaf ya Dik..Maaf..Abang itu……anu…jadi gini Dik...tadi itu sebenarnya Abang sudah pegang, tapi mungkin Adik gak rasa..ya khan Mas Made..? tuh..Mas Made aja liat...waktu itu..”

**