Jumat, 20 November 2009

Demam Berdarah : Antara Jogja dan Perancis

by Made Teddy Artiana, S. Kom

MTA PHOTOGRAPHY
[karena manusia mulia dan hidupnya berharga]
teddyartiana_photography@yahoo.com


Schedule prewedding tinggal tiga hari lagi. Clientku Mala dan Pierre (bukan nama sebenarnya) bahkan sudah beberapa hari yang lalu berangkat dari Perancis. Memang mereka punya rencana berlibur beberapa hari, sebelum akhirnya prewedding di Jogjakarta. Semua telah siap, ticket, crew, perlengkapan dan lain sebagainya. Hanya satu yang belum : Fotografernya yaitu aku sendiri. Disini disebuah rumah sakit tak jauh dari rumah, aku terbaring tak berdaya ditemani infus. Tubuhku memang disini, tetapi pikiran ini melayang-layang sampai kecandi Borobudur. Aku sama sekali tidak ingin berlama-lama ditempat ini.

Demam Berdarah sama sekali bukan penyakit yang dapat dipandang sebelah mata. Sudah banyak orang telah “berpulang” lewat perantaraan penyakit ini. Untunglah trombositku sudah jauh membaik. Seluruh dokter dirumah sakit itu, juga nyaris tidak percaya pemulihan pada diri ku terjadi sebegitu cepat.

“Kamu boleh pulang besok pagi. Tetapi ingat : harus bedrest dulu !!!”, wanti-wanti salah seorang dokter spesialis yang kebagian tugas mengurusi ku.
“Siap !!”, jawabku singkat, tak ingin berpanjang lebar dengan penyakit menyebalkan ini. Aku benar-benar sudah merasa kangen dengan kamera dan laptopku dirumah. Dengan istri ? pastilah…namanya juga soulmates .

Singkat cerita akhirnya tibalah aku dan team di Jogja. Kami bertemu dengan Mala dan Pierre lalu preweddingpun dimulai. Hari pertama, tujuan utama kami adalah candi Bobobudur. Entah mengapa candi ini begitu meninggalkan kesan mendalam didiriku. Kagum, salut dan bangga, kira-kira seperti itu. Begitu melihat sosoknya dari kejauhan, kaki-kaki yang selama tiga hari terbaring bengong di rumah sakit, seakan menari-nari ingin mendakinya. Begitu jari-jari ku menggenggam kamera photo, saran dokter tentang “bedrest” sudah lenyap tak berbekas dikepala. Aku memotret seolah-olah lupa bahwa baru dua hari yag lalu aku terbaring ditempat tidur besi, yang kepala tempat tidurnya bisa dinaik atau turunkan ketika menonton TV terpajang tinggi di dinding. Sungguh-sungguh menyenangkan.

Hari kedua tak kalah mengasikan, kami menysuri beberapa pantai di Jogja. Benar-benar pantai yang indah. Tak terasa dua hari berlalu, dan preweddingpun usai. Kami saling berpamitan. Aku dan Wida kembali kerumah Eyang, sedangkan mereka meneruskan perjalanan ke bandara Adisucipto lalu langsung terbang ke Jakarta. Sore harinya badanku terserang panas tinggi, hingga besok pagi. Untunglah keesokan harinya, suhu tubuhku sudah berada pada titik normal. Praise The Lord !!
Rupanya benar juga kata buku-buku motivasi dan psikologi, bahwa jika kita mencintai sesuatu maka keajaiban akan terjadi disana.

Nafsu Besar, Tenaga Nggak Besar

by Made Teddy Artiana, S. Kom

MTA PHOTOGRAPHY
[karena manusia mulia dan hidupnya berharga]
teddyartiana_photography@yahoo.com


“Ini list lokasi prewedding kita, Mas”, kata Vini (bukan nama sebenarnya) ketika baru saja aku dan Wida mendudukkan pantat kami di jok mobil. Aku mengulurkan tangan, mengambil agenda kecil itu. Disana tertulis, hari pertama : Curug Cimahi, Kebun Strawbery, Kawah Putih, Ciwalini, Situ Patenggang, Kampung Daun. Hari kedua : Tangguban Perahu, Sapu Lidi, Braga, Ciwalk.

“Kok senyum Mas ?”, tanya Vini melihat reaksiku membaca daftar yang mereka buat.
“Semua kejangkau khan dalam dua hari ?”, kejarnya lagi
“Oh kejangkau sih Vin”, jawab ku,”Cuma..”
“Cuma apa Mas”

Frans (juga bukan nama sebenarnya) kini ikut-ikutan menoleh kebelakang, menunggu penjelasanku.
“Secara lokasi pastilah kejangkau, hanya saja masalahnya di fisik”
“Maksudnya ?”, tanya Frans
“Sebenarnya Curug Cimahi itu medannya gak terlalu berat”, ujarku berusaha menjelaskan, “tapi tetap. memerlukan kondisi fisik yang oke karena kita turun sekedar 300-400m kebawah. Turun tentunya gak masalah..”
“Naiknya ya Mas ?”, potong Vini.
Aku pun mengangguk sambil tersenyum.

“Terus..”, aku melanjutkannya, ”kalau tujuan itu kalian gabung dengan kawah putih, aku kuatir…eh tapi kallo kalian sering aerobik atau olah raga sih gak masalah ya, tapi kallo enggak kayanya bakal ngos-ngosan deh..karena kawah putih juga ada naik tangganya meskipun gak jauh”. Mereka berdua terlihat berpandangan sejenak,”Tapi kayanya aku siap sih as,” ujar Vini bersemangat.

“Anyway..you’re the Boss..you wish is my command”, ujarku sambil tersenyum.

Rudy, The Driver pun, segera tancap gas dan mobil yang penuh sesak dengan gantungan pakaian itu melaju ke arah Bandung.

Singkat cerita, tibalah kami di Curug Cimahi, sekitar pukul 10.00 WIB. Setelah membayar tiket masuk, kami berlima : Aku dan Wida (istri sekaligus makeup artist), Frans, Vini dan Rudy pun turun perlahan kearah air terjun yang memang berada dibawah.

“Masih jauh ya Mas ?”, tanya Vini ketika baru saja sekitar 10 menit kami menuruni tangga-tangga itu.
“Ah Enggak kok Vin.. suara airnya khan udah kedengaran”, jawab Wida menghiburnya.

Tak berapa lama kamipun tiba di lokasi air terjun. Kamipun segera bersiap. Frans berganti baju, Wida me-makeup Vini, Aku menyiapkan kamera, sementara Rudy sibuk mencari wig yang sudah disiapkan Vini didalam koper bawaannya.

Prewedding berlangsung sekitar satu jam dan tampaknya mereka berdua sangat menikmati suasana di lokasi. Memang saat itu air terjun Curug Cimahi sedang bagus-bagusnya. Apalagi pengunjung memang sedang sepi. Klop ! Dunia milik kita berlima.

Kini tibalah bagian yang agak kurang menyenangkan, yaitu : mendaki naik kembali ketempat parkiran ! Wajah Vini yang tadi sumringah langsung berubah pada saat ia menapakkan kaki dianak tangga pertama. Dan terus semakin bertambah kusut, berbanding lurus dengan bertambahnya anak tangga yang kami pijak.

“Berhenti dulu Ko !”, pinta Vini dengan nafas tersengal-sengal.
Ini sudah kedua kalinya Vini meminta waktu untuk beristirahat kepada Frans. Aku dan Wida yang memang sengaja berjalan dibelakang merekapun ikut-ikutan berhenti menemani Vini yang wajahnya sudah tampak memucat.

Vini duduk disebuah tempat duduk dari batang kayu besar, dengan mata nanar. “Mata gue kunang-kunang nih”, katanya sambil mengucek-ucek kedua matanya.
“Lagian elu disuruh sarapan gak nurut”, timpal Frans sambil menyeka keringa didahi dan lehernya.
“Aduh kunang-kunangnya gak ilang-ilang nih”, teriak Vini gusar.
“Coba tarik nafas panjang”, seru Wida..
“Kok sekarang gelap..Mbak..kok gelap..?”, kini Vini tampak semakin ketakutan,“Koko..!! Koooo..elu dimana ?”

Vini berteriak-teriak hampir menangis memanggil Frans. Franspun ikutan panik kemudian buru-buru mendekati Vini dan memegang erat tangannya yang mengapai-gapai gak karuan.

“Mas apa dia kesurupan ?”, tanya Frans dengan wajah gugup kepadaku.
“Aahh gak lah..cuman kecapean. Frans mundur dikit deh…”, jawab ku,” biar Vini dapat udara bebas..Vini tarik nafas yang dalam Vin…merem aja…tenang..tarik nafas….tenang…”

Beberapa saat kemudian Vinipun tidak sadar alias pingsan. Mungkin karena kecapean atau memang kondisi tubuhnya sedang tidak prima. Dan terpaksa sesi prewedding yang begitu ambisius itu harus dihentikan sementara waktu, hingga menunggu pemain utamanya sadar. Hampir dapat dipastikan bahwa jumlah lokasi akan drastis berkurang setelah Vini sadar nanti. Untunglah tak lama kemudian Vini siuman, kalau tidak, mau tak mau Frans harus rela melakukan tugas yang hanya bisa dikerjakan olehnya. Tugas itu adalah : menggendong calon istrinya itu mendaki tangga menuju tempat parkir mobil yang masih setengah perjalanan jauhnya **

“Nyangkut" di Tengah Setu Patenggang

by Made Teddy Artiana, S. Kom

MTA PHOTOGRAPHY
[karena manusia mulia dan hidupnya berharga]
teddyartiana_photography@yahoo.com

Sebenarnya sudah beberapa kali aku dan team mengunjungi Setu Patenggang, Danau kecil yang terletak dekat kota Bandung ini. Memang pada musim-musim penghujan danau ini tidak tamak terlalu istimewa. Tetapi cobalah berkunjung kesana diwaktu musim kering, maka kita akan menyaksikan sebuah pemandangan lain. Bagi mereka yang pernah jalan-jalan ke pulau Belitung, dan menyewa perahu untuk mengunjungi Pulau-Pukau kecil disekitar Belitung, pastilah akrab dengan pemandangan batu-batu granit besar yang tinggi menjulang, diantara laut jernih berwarna biru kehijauan. Nah, agak mirip dengan yang kita jumpai di Pulau Belitung, Setu Patenggang pun menawarkan pemandangan menakjubkan. Pulau-pulau karang bergerigi yang menyembul keluar diantara air danau yang bening.

Berlima kami menyewa perahu dan berangkat menuju salah satu daratan kecil ditengah danau. Hari itu kabut tampak menyelimuti kaki pohon-pohon pinus yang berderet di tepi pulau. Suasana romantis yang sangat cocok dengan yang diidam-idamkan oleh Andri dan Santhi (bukan nama sebenarnya). Asal tahu saja mereka sudah berbekal sebuah gitar listrik sebagai property tambahan. Lho kok gitar listrik ? Itu karena pinjaman gitar akustik tidak juga kami temui, akhirnya Andri memutuskan untuk membawa gitar listrik kepunyaannya. Agak aneh memang, tapi gak ngaruh lah, yang penting suasana dan gitar.

Perahu merapat kesebuah pulau karang yang memang kami tuju. Setelah menghantarkan mereka berdua, aku dan team mengambil jarak dari pulau karang itu dan memotret dari atas perahu. Kemudian kami pindah kesebuah pulau karang yang lebih besar, yang banyak ditumbuhi oleh pepohonan dan semak belukar.

Sedang asyik memotret tiba-tiba entah dari mana seekor monyet berukuran sedang datang berkunjung. Ini tentu agak mengagetkan bagi kami terutama Santhi karena monyet itu selalu mengikutinya kemanapun Santhi beranjak. Lucu memang, apalagi monyet itu berwajah sangat jinak. Ia bahkan sempat beratraksi dihadapan kami. Berjungkir balik, meloncat-loncat bahkan ticur-tiduran diatas batu. Sayangnya kami tidak membawa perbekalan apapun, untuk diberikan padanya. Karena memang aku tidak pernah tahu ada monyet disekitar sini.

Tepat jam 17.00 WIB kamipun harus meninggalkan pulau itu. Sore mulai menghantar kami pada petang. Mungkin karena kabut, suasana ditempat ini lebih gelap dari yang seharusnya. Si Mamang yang empunya sampan, yang kemudian kami ketahui bernama Asep, segera mendayung sampannya ke tepian. Sementara kami masih tertawa-tawa mengenang monyet yang kami jumpai tadi. Tiba-tiba terdengarlah bunyi bruuukk !! diikuti dengan berhentinya sampan itu. Persis di tengah-tengah danau.

“Kenapa Mang ?”, tanyaku kepada Asep.
“Biasa Den, nyangkut….”, jawabnya kalem sambil menggoyang-goyangkan perahu dengan badannya.
Tapi sampan kecil itu tetap tidak bergerak.
Kini Asep berdiri lalu menggunakan dayungnya mengungkit kesana-sini.
Namun sampan itu tetap tak bergeming. Kami berlima (Andri, Santhi, Aku, Wida dan Ira, adik Sintha), Asep dan sampan itu kini diam. Sampan diam karena nyangkut, Si Asep diam karena berpikir sementara kami diam, karena tegang.
“Emang gak ada trik lain Pak ?,” tanya Wida (istri sekaligus make up artis).
“Tenang Neng…eh maaf coba satu orang pindah dulu kebelakang”, pinta Asep.
Andri yang kebetulan duduk dibagian paling depanpun beranjak pindah ke bagian belakang.
“Ee maaf satu lagi”, kata Asep memberi kode pada Sintha.
Mau tak mau Sintha juga ikut-ikutan ngungsi kebelakang.

Sampan itu kini tampak sudah mulai terangkat bagian depannya, tapi sial ia masih tetap tidak bergerak. Akhirnya satu persatu dari kami harus pindah kebelakang, sehingga sampan itu sekarang sudah dapat dikatakan “standing” diatas permukaan air.

“Pada bisa berenang ?”, tanya Asep sambil memandang kearah kami satu persatu.
“Dari pada berenang, mending disuruh berantem”, sahut Ira ketus.
Ternyata diantara kami berlima, hanya Ira yang sama sekali tidak bisa berenang.
“Tapi Aden yang ini pasti bisa berenang ?”, tanya Asep sambil melirik kearahku.
“Darimana Mamang tahu ?”, tanyaku sambil tersenyum.
“Aden orang Bali khan ? “, ia balik bertanya.
“Emang orang Bali pasti bisa berenang ?”, akupun menjawab dengan pertanyaan.
“Posturnya mirip Anak Pantai di Kuta sana”, sahut Asep, sambil menggerak-gerakkan dayungnya kembali.
“Tapi kameranya Mas Made gak bisa berenang Mang !!!”, potong Ira yang tampaknya semakin senewen dengan topik percakapan ‘berenang’.
Kini sampan itu mulai bergerak-gerak.
“Kameranya khan bisa diatas perahu”, sahut Asep sambil nyengir.
Meskipun dalam gelap, tidak sulit melihat bibir Ira yang berkomat-kamit ngedumel gak karuan.

Tiba-tiba terdengar bunyi bruuukk lagi, diikuti dengan terlepasnya perahu itu dari sangkutannya. “Akhirnya..bebas euuyy..”, teriak Asep lega. Diikuti kalimat syukur dari seluruh awak sampan. Yang heboh Si Ira, saking senangnya ia bertepuk tangan, lalu joget-joget gak karuan.

“Eh..eh..Neng..kalo mau joget..nanti aja !!!”, ujar Asep. Si Ira melirik sinis kearah Asep, lalu bergeser pelan-pelan kebagian depan, diikuti oleh Adi dan Santhi. “Si Mamang teh gak bisa liat orang seneng..”, gerutu Ira.

“Bukan begitu Neng geulis…tadi khan kita semua lagi dibelakang..ntar kallo perahunya kebalik..khan yang paling kasihan Neng sendiri. Bukannya Eneng geulis yang gak bisa berenang diantara kita berenam..Mamang sih seneng-seneng aja dapet jatah menyelamatkan Si Eneng..he..he..he..”, jawab Asep sambil tersenyum melirik kearah kami.
“Tau!”, ujar Ira ngambek.
“Eh si eneng mah kallo marah tambah manis…itu lesung pipinya eleuh-eleuh..kaya Si Iteung euy…”, canda Asep iseng.
“Ra…bukannya minggu lalu baru putus sama Si Budi..udah..mumpung jomblo..katanya suka cowok petualang”, timpal Adi.

Kami pun tertawa menyaksikan adegan itu, sementara Ira menutup wajah yang memerah dengan kedua tangannya, karena menahan malu. **

“Bukan Salah Fotografernya Lho !”

by Made Teddy Artiana, S. Kom

MTA PHOTOGRAPHY
[karena manusia mulia dan hidupnya berharga]
teddyartiana_photography@yahoo.com


Prewedding kali ini hanya berjarak satu minggu sebelum hari H. Clientku, yang laki-laki sebut saja Jean, adalah kebangsaan Selandia Baru yang karena travel warning dari negaranya tidak dapat segera tiba di Indonesia, alias telat. Aku sebagai fotografernya memang sempat kebat-kebit juga mendengar kabar ini dari calon mertuanya. Belum prewed padahal waktu tinggal seminggu ! Tetapi kebat-kebitku belum seberapa dibandingkan kebat-kebit calon mertuanya !! Tak terbayangkan bagaimana perasaan mereka saat itu. Yang jelas travel warning bajingan terhadap Indonesia itu menyusahkan banyak pihak.
Akhirnya Si Mr. Bule sebagai pemeran utama, sampai juga di Jakarta. Tanpa skenario aneh-aneh, keesokan harinya preweddingpun dimulai. Masalah travel warning sudah solved, kini muncul masalah baru : lokasi. Calon pengantin wanita, sebut saja bernama Dewi, menginginkan lokasi urban, sedangkan Jean, menginginkan yang ijo-ijo. Setelah berdebat selama satu jam, akhirnya sebagai tuan rumah Dewi mengalah. Berdasarkan clue itu, kamipun meluncur menuju Kebun Raya Bogor, satu-satunya tempat paling hijau yang dekat dengan Jakarta.
Setibanya disana, masalah ketigapun nongol : Dewi, walaupun berparas cantik dan berpostur ideal, percaya atau tidak, ternyata bukan tipe wanita yang PD untuk difoto. Dan habislah waktu setengah hari dengan mimik-mimik grogi Dewi menghiasi foto-foto mereka. Baguuussss !!!
Tak urung ini membuat Jean uring-uringan, bukan hanya Jean. Dewi tentunya jauh lebih tersiksa lagi. Akhirnya kuputuskan untuk break sebentar demi mengatur strategi. Jean yang sudah hampir putus asa itu, kami bebaskan untuk pergi menikmati ijo-ijonya Kebun Raya bogor. Sementara Dewi, pasien ini harus mendapat treatment khusus. Aku dan team, membawa Dewi kesebuah lokasi dan memintanya untuk berphose sederhana beberapa sesi. Mulanya Dewi menolak, tetapi setelah mendengar jaminan dariku : bahwa aku akan menuruti apapun kemauannya, termasuk menghentikan prewedding ini, jika ia menganggap dirinya tetap tidak photogenic. Sebuah tantangan yang menegangkan.

“Kamu cantik Dewi.”, kataku sambil menatapnya bersungguh-sungguh,”Dan aku akan membuktikan bahwa kamu juga photogenic. Hanya saja kamu harus menuruti command-command simple dari aku. Deal ?”
Dewi mengangguk setuju. Wajahnya sempat memerah ketika kubilang betapa cantiknya ia. Tetapi wajahnya berubah jadi serius, karena aku memang tidak sedang merayu. Aku serius.
Sejenak kuamati wajah manis Dewi untuk menemukan angle mana dia terlihat paling cantik. Dibantu cahaya matahari, tugas menegangkan itu berhasil kami selesaikan. Tiga buah foto tercipta. Kini giliran Dewi untuk menilai foto-foto itu. Segera sesudah kamera itu ditangannya, Dewi segera menutup wajahnya yang memerah dengan tangannya, sambil tersenyum malu.
“Apa ku bilang..?”, tanyaku merasa memenangkan kontes ini.
Dewi tak sanggup mengatakan sepatah katapun, selain “Aku cantik yah..iihhh..maluuu..”, lalu tertawa geli sendiri.

Kelanjutan prewedding selanjutnya mudah ditebak. Tanpa kesulitan yang berarti. Singkat cerita mereka berdua akhirnya menikah, lalu berangkat kembali ke Selandia Baru. Kira-kira delapan bulan kemudian, orang tua Dewi mengundangku datang kerumah mereka, karena kakak Dewi akan segera menikah. Another project.

Ketika tiba dirumah Dewi, orang tuanya segera bercerita bahwa Dewi, di Selandia Baru sana, jadi doyan banget foto-foto..sampai-sampai mengundang kecemburuan dari Jean, suaminya. Kabarnya dinding rumah mereka hingga penuh sesak digantungi foto Dewi. Bahkan tak jarang terjadi keributan kecil, karena narsisme Dewi yang dirasa kelewatan oleh sang suami. Ketika orang tua Dewi, mendapat kesempatan untuk berkunjung ke Selandia Baru, merekapun tampak terheran-heran dengan kelakuan Dewi. Lucunya ketika ditanya,Dewi malah beralasan “Ini gara-gara Mas Teddy..ha..ha..ha..ha..”. Dasar !!



Kisah Sedih Dari Sidney

by Made Teddy Artiana, S. Kom

MTA PHOTOGRAPHY
[karena manusia mulia dan hidupnya berharga]
teddyartiana_photography@yahoo.com


Cerita ini ditulis dengan sebuah keprihatinan yang dalam. Sama sekali tidak bermaksud buruk. Apalagi untuk bersenang-senang diatas penderitaan orang lain. Tetapi biarlah menjadi sebuah pelajaran berharga bagi para calon pengantin, terutama orang tua dan keluarga besar mereka.
Rendy dan Dyane (bukan nama sebenarnya), sama-sama bermukim di salah satu negara bagian di Ausie sana. Mereka mengenal ku dari kakak mereka yang yang kebetulan photography dan wedding organizernya kami tangani juga. Mengenal mereka merupakan sebuah kebahagian tersendiri buat kami. Bukan hanya karena kami sudah mengenal keluarga besar mereka, tetapi juga karena kepribadian mereka yang unik. Kritis, agak cerewet tapi baik. Karena jarak, jadi technical meeting lebih sering kami adakan via telepon dan email, sesekali kami memang bertemu, ketika mereka kebetulan berada di Indonesia.
Segalanya baik-baik saja pada awalnya. Segalanya telah kami rencanakan bersama dengan matang. Segala persiapan yang bersangkut paut dengan photo dan WO dipernikahan nanti, sudah beres jauh-jauh hari sebelum hari H mereka. Kami tinggal menghitung hari.
Mengenai prewedding misalnya. Rencananya kami akan bertemu di Bali, mereka langsung dari Ausie dan kami dari Jakarta. Lokasi prewed, penginapan dan ticket pun sudah siap. Tinggal berangkat.
Namun 10 hari menjelang keberangkatan itu, kami menerima kabar yang sangat mengejutkan. Dyane pada saat itu sedang di Jakarta menghubungi via telepon kami sambil menangis tersedu-sedu. Ternyata sebuah tragedi menimpa mereka. Karena suatu sebab-yang tentunya tidak ingin kami ceritakan-keluarga mereka bersitegang. Tidak hanya itu, hubungan mereka berduapun ikut-ikutan memburuk. Pertengkaran kedua kubu memuncak hingga berujung pada pembatalan pernikahan mereka berdua. Gedung sudah booking, catering sudah bayar, undangan kebetulan diurus oleh Wedding Organizernya Wida (istriku) pun sudah selesai dicetak, tapi pernikahan itu sendiri dibubarkan. Jika mengingat kemesraan mereka berdua, peristiwa ini terasa seperti mimpi. Curhat Dyane selama hampir 4 jam itu, kami tanggapi dengan sangat prihatin. Malamnya, curhat berlanjut, entah berapa jam lamanya. Tidak hanya itu, keesokan harinya kami dihubungi juga oleh pihak keluarga Rendy (CPP). Ayah Rendy yang memang sudah kenal dekat dengan kami, bercerita juga panjang lebar, sambil menangis tentang kejadian ini, hampir selama 3 jam nonstop. Kabar terakhir kami dengar bahwa Rendy dilarikan ke Hongkong, karena yang bersangkutan mengalami stress berat.
Malamnya, aku dan istri meluangkan waktu khusus untuk berdoa buat Rendy dan Dyane beserta keluarga mereka. Kiranya TUHAN mendamaikan kedua keluarga besar ini, atau paling tidak mengeringkan luka-luka bathin mereka segera.
Siapa yang salah ? Sangat sulit mencari benang kusut itu, apalagi jika persoalan harga diri kental terlibat didalamnya. Cinta memang perlu pengorbanan, kadang bahkan pengorbanan harga diri. Tetapi yang perlu diwaspadai adalah jika cinta dikorbankan demi ego sekelompok orang. Walaupun dengan alasan harga diri.

Guys…kami sangat prihatin akan apa yang menimpa kalian. Semoga TUHAN yang baik suatu hari nanti mempertemukan kalian kembali. Dan semoga TUHAN melindungi persiapan semua calon pengantin dimanapun mereka berada, sehingga tragedi Rendy-Dyane tidak terulang kembali. **

Kamis, 19 November 2009

Prewedding Nunjuk !!

by Made Teddy Artiana, S. Kom

MTA PHOTOGRAPHY
[karena manusia mulia dan hidupnya berharga]
teddyartiana_photography@yahoo.com

Cerita ini menggelikan. Lucu tapi nyata.
Kami pernah punya pengalaman unik dengan client kami ini. Sembilan tahun pacaran dan akhirnya menikah setelah melewati berbagai tantangan dari kedua belah pihak keluarga.Bukan sesuatu yang mudah memang..tapi Love stronger then everything..

Jadi mereka meminta aku mencari sebuah tema prewedding yang melambangkan kekuatan & ketegaran cinta mereka. PR yang lumayan..

Pada saat teknikal meeting seminggu sebelum preweddingSi Cowok sebut saja Binsar (memang kebetulan dia orang Medan)mengultimatum ku..

"Pokoknya Bli..(sebutan Mas untuk orang Bali)Aku nggak mau...ada adegan yang tunjuk menunjuk itu. Macam Mana itu !!" ujarnya bersemangat.
Aku dan Wida-istriku- hanya tersenyum."Bang..itu selera. Aku pun nggak pernah memaksa orang untukberadegan nunjuk", kata ku sambil menahan tawa,"aku lebih suka prewedding itu candid dan urban. Tapi maunya client itu beda-beda Bang".

"Pokoknya aku nggak mau disuruh nunjuk !", kata Binsar sambilmenoleh kearah pasangannya.
Pasangannya hanya tersenyum sambil melirik kearahku."Sabar ya Mas..", katanya setengah berbisik.
"Oh nggak apa-apa kok", sahut kami sambil tersenyum geli.

Hari berlalu dan saat preweddingpun tiba.Pemilihan lokasi : Anyer.
Mereka kuminta berdiri tegakdisekumpulan batu karang yang aman, tetapi terkena deburan ombak.Aku dan crew melakukan testing dilokasi, memastikan tempat yang kami pilih aman.Setelah semuanya siap mereka pun kuminta berdiri diatas karang itu.Sedikit menerangkan konsep prewedding, supaya penghayatannya dalem :-)

Si Abang Binsar tampak tersenyum senang, "Keren kali konsep kau itu...sampai merinding aku..nih liat..",serunya sambil menepuk bahuku,"dasar Bali kau..ha..ha..ha..!!!"
Aku hanya tersenyum. Kemudian menyiapkan alat tempur alias kameraku.
Kami semua bersiap...tinggal menunggu ombak.Ombak pertama datang menghantam karang. Percikannya membasahi baju dan rambut mereka...cleint ku terlihat begitumenghayati adegan ini..terutama Bang Binsar ia tampakbegitu bersemangat...bahkan terlihat dia mulai mengusulkan beberapa gaya baru.Rupanya chemistry sudah mulai terbangun dan Adrenalin mulai naik.Beberapa photo kami ambil...

Setelah sekian lama tiba-tibaBang Binsar berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan tangan..dari batu karang itu..Aku dan crew saling berpandangan. Masing-masing mengerutkan kening.Kami memang agak kesulitan mendengar Bang Binsar karena tersamar suara deburan ombak.Akhirnya kamipun mencoba mendekat kearah mereka.

Setelah kami mendekat..barulah jelas kata-katayang diteriakkan oleh Bang Binsar.Serempak kami semua tertawa terbahak-bahaktak terkecuali Bang Binsar dengan wajah yang memerah menahan malu.Mau tahu nggak apa yang ingin dikatakan sama Si Abang.

Dia bilang..."Boleh nggak kalau aku MENUNJUK kearah situ sepertinya MANTAP KALI!!!!"***

Cinta Ku..Sekuat Pegangan Ku

by Made Teddy Artiana, S. Kom


MTA PHOTOGRAPHY
[karena manusia mulia dan hidupnya berharga]
teddyartiana_photography@yahoo.com


Si Bang Binsar –sekali lagi bukan nama sebenarnya – semakin bersemangat. Air laut yang membasahi baju di badannya yang berotot, mata yang berkilat-kilat bak Sisingamangaraja, deburan ombak, karang semuanya terasa bergabung menjadi obat “pemacu adrenalin” yang –kata orang Medan- Mantap Kaliii !!!

Terus terang kami geli setengah mati melihat tingkah dan ekspresi si Abang. Peran pengatur gaya diambil alih olehnya. Ide-ide gaya pun bermunculan bak jamur dimusin hujan. Gaya gendonglah..gaya kissing lah..gaya berpelukan.. ck..ck.ck. Mengenai penghayatan ? Jangan ditanya. Acting nari Kajool dan acting nangis Sahrukh Kan…putuuussss !! Emang India aja yang bisa..Batak juga jago…
Tetapi ada gaya yang tidak bisa aku kabulkan….B e r e n a n g….yang ini No Way !! To Dangerous…

“Bli”, teriak Si Binsar untuk kesekian kali,”bagaimana kalau dikarang itu kita duduk berdua berdampingan”. Dia menunjuk kearah karang disebelah kiri mereka. Posisinya jauh lebih rendah dari yang kurekomendasikan. Aku terdiam sejenak. Aman nggak yah..bathinku dalam hati. “Ahhhh tenang saja..” teriak Binsar seolah mengetahui kekawatiranku,”Aman itu..lagian khan kita berdua bisa berenang..Tak usah takut lah kau..”. Aku hanya tersenyum. Bukan masalah berenang nih gumanku…aku juga perenang bahkan nyaris jadi Beach Boy di Kuta sana..he..he..he..
“Tapi Bang..”
“Alaaaaah sudahlah..sekali saja..ya tenang saja ombak juga nggak terlalu besar ini”, teriaknya kembali.
Akhirnya aku terpaksa setuju.
Mereka duduk berdampingan diatas sebuah batu karang.
“Tunggu ombak yaaa…kalau bisa yang agak besar”, teriak si Binsar kepadaku, sambil badan dan wajahnya tetap pada posisi ready to shoot.
Beberapa ombak kecil berdatangan silih berganti. Tiba-tiba sebuah ombak yang cukup besar terlihat bergulung dari kejauhan. Meskipun agak kuatir terhadap mereka. Aku harus bersiap.
“Bang ini agak besar…!!! Hati-hati yaaa..!!!” teriakku sekuat tenaga.
Ombak yang cukup besar itu tiba-tiba jadi..”agak kebesaran”..dan akhirnya menghantam mereka berdua.…..BYUUUUUUUUURRRRR !!!
Sejenak keduanya seolah tertelah deburan ombak…
Aku dan crew yang berdiri agak jauh berlari ketepian..sambil melindungi kamera dan alat-alat kami. Ombak itu berlalu…dan ya ampuuuuuuuuun…
Dibatu karang itu tinggal Bang Binzar ‘bertengger’ seorang diri…dia tampak agak shock…Tapi sepertinya ada yang aneh…..lho tadikhan ada dua orang disitu…kemana ceweknya ??? Wah gawat….!!!
Aku dan crew dengan panik segera berlari menuju arah mereka. Ternyata hempasan ombak itu membuat Si Cewek pasangan Bang Binzar –sebut saja Mona- itu terjerembab..jatuh. Rupanya persis didepan karang ada cekungan setinggi kurang lebih satu meteran. Nah..Mona..nyungsep kesitu. Tanpa ba..bi..bu..kami segera menolong Mona..sementara Bang Binzar yang terlihat putih karena pucat itu, masih terbengong-bengong ditempatnya. Rupanya nyawanya belum ngumpul bener.

Susah payah kami mengangkat Mona yang basah kuyub ke atas batu karang..
“Nggak apa-apa khan Mon..” kataku sambil mengamatinya cemas. Basah kuyub, rambut lepek, wajah memerah…

Tetapi Mona tidak menggubris pertanyaanku. Dia segera mendekati Bang Binzar..dan meninju berkali-kali dada, lengan dan menarik-narik baju si Abang..sambil setengah menangis…dan mata melotot Mona ngomel sejadi-jadinya..

“AKU NGGAK DIPEGANGIN SIH !!! UDAH TAU OMBAKNYA GEDE…DASAR EGOIS !! MAUNYA SELAMAT SENDIRI !!! KATANYA CINTA…GOMBAL !!! BARU OMBAK AJA AKU UDAH DIBIARIN…KESEEEEEEEEEELL !!! MALAH PEGANGAN SENDIRI…. ABANG JAHAAT !!!!! NTAR AKU BILANG DEH SAMA MAMA PAPAKU…!!!”

Kami semua pecah oleh tawa..menyaksikan ekresi kecut Bang Binzar yang cuma bisa cengar-cengir..sambil..berkata ”Maaf ya Dik..Maaf..Abang itu……anu…jadi gini Dik...tadi itu sebenarnya Abang sudah pegang, tapi mungkin Adik gak rasa..ya khan Mas Made..? tuh..Mas Made aja liat...waktu itu..”

**

Istri atau Kamera ?

by Made Teddy Artiana, S. Kom

MTA PHOTOGRAPHY
[karena manusia mulia dan hidupnya berharga]
teddyartiana_photography@yahoo.com


Byuuuuuuuuuuurrrrrrrr !!!!!
Hujan deras tiba-tiba saja turun mengguyur Kebun Raya Bogor, bagaikan disiram ember raksasa dari langit. Tanpa dikomando, kami bubar-jalan mencari tempat berteduh. Acara preweddingpun terpaksa di-break sesaat, padahal prewedding baru berlangsung 2-3 jam.

Untung ini kebun raya, jadi tidak terlalu sulit untuk mencari tempat teduh untuk berlindung, lumayan lah. Tetapi yang namanya hujan rupanya tidak kenal kompromi. Bukannya bertambah reda malah semakin lebat. Sekali lagi…-biasa orang indonesia- untuuuung ada beberapa pasangan yang kebetulan lagi nge-date disekitar kami, dan untungnya lagi..mereka bawa payung. Jadi nebenglah kami pada mereka.

“Maaf ya Mas..nebeng” ujarku sesopan mungkin
“Oh nggak apa-apa”, jawab pasangan itu hampir serempak.
“Kayanya kemesraaan jadi terganggu nih”, celetukku mencairkan suasana
“Oh…nggak kok..santai aja Mas”, jawab sang cowok sambil terseyum ramah

Segera setelah mendapat tebengan dalam payung mereka, buru-buru aku mengecek kameraku. Satu persatu kuamati bagian-bagiannya. Syuukuur nggak ada yang basah, kataku membathin. Hampir saja aku membawa seluruh perlengkapan beserta tasnya, tetapi untunglah niat itu aku urungkan. Perlengkapan lain dan tas kamera sudah aku letakkan dalam mobil clientku, jadi aman deh…coba kallo semuanya kubawa…weleh-weleh

“Mas..”, sapaan si cowok mengagetkan ku yang tengah asyik memeriksa kamera.
“Apaan…”, jawabku tanpa menoleh
“Yang disebelah siapa ?”
“Apa..?”, aku memandangnya sebentar
“Maaf, yang disebelah Mas itu siapa ?”, tanyanya sambil melirik kesebelah kananku
“Yang disebelah, ooh Istri”, jawabku singkat.

ASTAGA !!!!
Payung ini khan hanya muat bertiga –pasangan itu dan aku-
berarti Si Wida, istriku………………….YA AMPUUUUNNNNN…!!!!

Bagaikan tersambar petir aku segera menoleh kesebelah kananku. Dan tampaklah Wida, istriku, dengan rambut lepek dan baju basah kuyub, tersiram hujan, memandangiku dengan kesal. Rupanya saking paniknya aku dengan urusan kameraku, sampai-sampai aku lupa memberikan sedikit ruang untuk istriku berteduh. Alhasil, dia berdiri bebas, dan basah kuyub..sekuyub-kuyubnya.

“Ah..aku sih sudah biasa Mas..”, sahut Wida, sambil melirik kearahku
“Untung istriku bisa diajak susah…”, timpalku sambil nyengir menahan malu.

Dan semua orang yang sedang berteduh disitu pun tertawa geli menyaksikan kejadian konyol itu, termasuk clientku.

Wadooowww..kayanya ntar dirumah nih urusannya bakal berat....

***

Terkunci Dalam Gelap di Prambanan

by Made Teddy Artiana, S. Kom

MTA PHOTOGRAPHY
[karena manusia mulia dan hidupnya berharga]
teddyartiana_photography@yahoo.com



Prewedding kali ini memang agak telat dimulainya. Sandra dan Adi (bukan nama sebenarnya) memang datang terlambat menjemput kami. Ada urusan keluarga dulu, kata mereka. Kami berempatpun berangkat menuju Prambanan, lokasi satu-satunya di Jogja yang mereka inginkan.

Kami tiba dilokasi sekitar jam 15.00 WIB. Prambanan tidak terlalu ramai pengunjung waktu itu, maklum bukan hari libur. Jadi hanya segelintir orang yang menyebar disana-sini nyempil diantara candi-candi yang berdiri megah. Ini jelas-jelas sangat menguntungkan kami. Kebayang dong sulitnya motret diantara hilir mudik orang-orang. Belum lagi kebiasaan orang Indonesia yang suka sengaja mondar-mandir, petantang-petenteng, terus celingukan jika ada yang sibuk motret atau syuting. Bayangkan dengan orang-orang di Singapore sana, jangankan pemotretan, ngelihat orang motret iseng aja, mereka langsung menepi memberi kesempatan. Ngeselin !!!…he..he..he..tapi begitulah rigth or wrong is my country.

Ada dua buah kejadian unik yang terjadi waktu itu. Pertama, saking tingginya adrenaline Sandra dan Adi, sampai-sampai mereka sempat memanjat naik dan nangkring diujung salah satu candi. Peringatan ku sebagai photographer yang bertugas memotret prewed ini mereka abaikan.

“Gue yang tanggung jawab Mas”, kata Adi, “Tugas elu hanya take the moment..ok Boss ?.”

Walaupun dengan berat hati aku mengiyakan permintaan Adi. Memang sudah menjadi komitmenku untuk menjaga benar calon-calon pengantin ini ketika foto prewed berlangsung. Semoga tidak terjadi apa-apa, keluhku sambil menahan nafas.
Begitu tiba diujung candi, Adi dan Sandra segera memberi kode padaku untuk segera mengeksekusi adegan ini. Tiba-tiba teriakan petugas candi mengagetkan kami “Hoiiiiii…turun kamu !!!”. Petugas itu tergopoh-gopoh berlari kearah ku. Wajahnya marah bercampur was-was.
“Pak sekali saja Pak”, pintaku, “kasihan Pak sudah terlan…”.
“Kallo mereka jatuh kamu mau tanggung jawab ?”, potong petugas itu dengan mata melotot.
“Saya yang tanggung jawab Pak”, teriak Adi sambil tersenyum dari atas sana,”photographer nya gak salah..saya yang maksa Pak”.
Aku hanya bisa nyengir, sambil memberi kode dengan telunjuk kananku membentuk angka satu.
“Sekali aja ya Pak..maaf nuwun sewu njih”, ujarku sesopan mungkin.
“Anak muda jaman sekarang memang uedaaaan !!!”, umpat nya sambil pergi meninggalkan kami.
“Kalau terjadi apa-apa saya gak tanggung jawab”, teriaknya dari kejauhan.

Ungkapan ini mirip ungkapan yang sering kita dengar difilm-film Holywood, terutama yang melibatkan polisi, mafia atau gank-gank kawasan kumuh.“We see nothing”, kata mereka bermaksud tidak ingin terlibat secara hukum dalam sebuah kejadian kriminal.

Lanjut….

Prewedding selesai pukul 18.50 WIB. Di Jakarta, jam segini masih sore. Apalagi di Kuta, jam segini sih masih siang. Tapi ini di Prambanan, Jogjakarta. Candi –yang aku juga baru tahu -jam17.30 WIB sudah tutup. Dan hari ini tidak ada pementasan Sendratari yang biasa dipentaskan di Prambanan pada malam minggu. Jadi kesimpulannya : Prambanan bukan cuma sudah tutup, tapi kami sudah terkunci dari luar. Bagus banget !!!

Untunglah ada lampu-lampu sorot itu, karena tanpanya kegelapan di Prambanan mungkin mirip dengan Planet Pluto. Gelap dan dingin. Lalu terlihatlah oleh oleh seorang petugas yang baik hati, empat orang anak muda yang berjalan lontang lantung dalam kegelapan (bahkan seseorang dari antara mereka tampak berjalan nyeker, sambil menenteng sepatu hak tingginya). Mirip pemain-pemain sendratari Ramayana modern yang gak jadi manggung karena salah hari ! Untunglah sang malaikat penyelamat itu berbaik hati membuka kunci pintu pagar sambil tak lupa memberikan wejangan berupa omelan-omelan khas orang Jawa.
“Kok bisa kalian terkunci di dalam ??!!!”, tanya Si Bapak berulang-ulang tak kuasa menahan keheranannya. “KOK BISA ???”

Kebakaran di Ujung Genteng

by Made Teddy Artiana, S. Kom

MTA PHOTOGRAPHY
[karena manusia mulia dan hidupnya berharga]
teddyartiana_photography@yahoo.com



Berangkat dari rumah jam 06.00 WIB dan tiba dilokasi, tepat pukul 11.30 WIB. Akhirnya kami kembali bisa menginjakkan kaki dibumi(tepatnya diatas pasir), setelah lima setengah jam berayun-ayun dalam sebuah benda bernama mobil.

“Sebelum make up kita makan siang dulu Mas”, kata Radja & Dini (bukan nama sebenarnya) kepadaku dan team. Setelah pindah temat dua kali, kami akhirnya masuk kesebuah rumah makan seafood yang kami rasa cukup representative. Bentuknya unik. Paduan serasi dari bambu, gedek dan jerami. Tapi setelah masuk kedalam..kok sepi ? Mana yang jualan..? Tidak ada seorangpun yang tampak. Yang terdengar hanya tangisan bayi disuatu ruangan didalam rumah makan itu.

Setelah meneriakkan “permisi” “spada” “asamualaikum” berkali-kali akhirnya munculan seorang ibu dengan bayi yang sedang menangis digendongannya.
“Maaf, sedang gak ada orang”, sapanya ramah dengan penampilan agak awut-awutan.
Mudah ditebak, wanita ini dalam keadaan yang demikian repot. Belum mengurus bayi, apalagi ngurus rumah makan.
“Tapi Ibu jualan gak ?”, tanya Dini.
“Oh jualan..jualan”, jawab Si Ibu.

Menu diberikan dan seperti adegan-adegan dirumah makan manapun –kecuali warteg- diseluruh dunia yakni : menunggu.

Terdengar kelontangan penggorengan dengan bunyi semburan kompor gas dari dalam dapur diiringi suara bayi yang masih menangis. Si Ibu nampak mondar-mandir kebingunan, sebentar kedapur, sebentar menengok bayinya. Kebetulan setiap melintas aku sedang menengok kebelakang. Entah apa yang terjadi didapur, tiba-tiba saja suatu ledakan mengejutkan kami. Dengan cepat api bekobar ke atas merambat naik keatap yang terbuat dari jalinan jerami. Makan empuk Si Jago Merah. Tak sampai lima menit, berhamburan keluarlah tuan rumah dan tamu rumah makan tersebut dengan panik.

Masing-masing mencari ember, centong, mug, gelas, atau apapun benda yang dapat dipakai untuk menampung air. Untunglah kecelakaan ini cepat diketahui oleh para tetangga dan penduduk sekitar. Maka berdatanganlah mereka berduyun-duyun membantu kami, ada yang naik keatap, ada yang menyiram dari bawah. Begitu crowded, bak pasukan Hanoman menyerbu Alengka Pura.

Akhirnya setelah berjuang sekian lama, api berhasil kami padamkan. Dengan perut laper keroncongan, kami terpaksa harus mencari rumah makan lain, sebelum memulai misi utama kami untuk photo prewedding.

Pada saat menjelang maghrib, disaat sunset, kami mendapat kado dari Sang Pencipta, berupa sunset yang luar biasa indah di sini, di Ujung Genteng. [mtaphotography::karena manusia berharga dan mulia]

“Sandal Gue Maaaaaas !!”

by Made Teddy Artiana, S. Kom

MTA PHOTOGRAPHY
[karena manusia mulia dan hidupnya berharga]
teddyartiana_photography@yahoo.com



Uluwatu sedang panas-panasnya ketika kami tiba disana. Tetapi wajah Iwan dan Lia (bukan nama sebenarnya) masih sumringah. Persis seperti orang yang baru habis mandi, terus disodori sarapan nasi goreng + 2 seplok telor + susu.

Uluwatu memang tujuan utama ke-2 setelah dreamland yang masuk pada 10 daftar lokasi prewedding mereka. Mereka berdua memang belum pernah berkunjung ke tempat ini sebelumnya, akulah yang merekomendasikan tempat ini kepada mereka. Setelah melihat sample-sample foto client kami yang lain yang kebetulan kami potret di Uluwatu, maka kedua calon pengantin itupun setuju dan memasukkan Uluwatu ke daftar mereka.
Langit biru, Pura yang berdiri dalam wibawa, tebing yang kokoh, deburan ombak yang ganas, pohon kamboja dan monyet berkeliaran memang hidangan khas yang hanya bisa ditemui di Uluwatu. Tempat yang akan membuat siapapun yang memiliki mata dan telinga dan juga mulut, berdecak kagum.

“Gila tebingnya eksotik banget Mas !”, seru Iwan keheranan menyaksikan betapa luar biasanya pemandangan tebing uluwatu terhantam deburan ombak.
“Iya keren banget, two tumbs up !”, sahut Lia mengiyakan.
“Tapi hati-hati monyetnya ya”, ujarku sekedar mengingatkan keduanya.“Monyetnya gak galak, tapi jahil.”

Pemotretan preweddingpun kami mulai. Karena memang tampak menikmati suasana, keduanya terlihat ngeblend dengan background mereka, dan kami sama sekali tidak kesulitan mengeksekusi foto-foto mereka.

Hingga suatu ketika sebuah challenge diajukan oleh Iwan kepadaku.
“Aku mau background pohon kambojo kering itu Mas”, katanya sambil menunjuk salah satu pohon kamboja Bali yang memang sedang gundul karena meranggas itu.
“kallo ngambilnya dari bawah Mas..bagus gak ?”, sambungnya lagi.
“Bagus”, jawab ku.
“Tapi aku gak keliatan gendut”, tanya Lia kuatir.
Dia memang selalu terlihat kuatir, jika angle kamera berada dibawah horison.
“Tenang aja..yang penting cahaya”,jawabku menenangkan Lia.
“Ok..tapi kalian agak manjat sedikit yah..gak tinggi kok..itu dahan yang kedua. Cuman sampai disitu aja kok”, saranku pada mereka.
Mereka berdua mencopot sandal masing-masing, sebelum akhirnya memanjat dan nangkring disitu.
“Tunggu yah..oke lia kamera Iwan..Lia..good”, baru beberapa saat, tiba-tiba teriakan Iwan mengagetkan kami semua.
“Sandalku Mas…sandaaaal !!!!”
Ia terlihat panik, dan ingin bergegas loncat menyelamatkan sandalnya yang dilarikan oleh seekor monyet kecil.
“Wan..wan..tenang aja..awas nanti elu malah jatuh lho”, teriak ku mengingatkannya.
“Tapi Mas..sandalku itu..”, ia tampak kuatir.
“Iya Mas..monyet juga tahu mana yang udah lunas mana yang masih ngutang..hi..hi..hi..”, teriak Lia sambil tertawa cekikikan.

Iwan hanya cemberut, sambil matanya terus mengawasi monyet kecil itu dari atas pohon bak detektif kartun Dick Tracy, mengintai lawannya.
“Harusnya gue yang dibawah, dia yang diatas…ini malah kebalik”, gerutu Iwan

“Gampang ada triknya kok..nanti juga dibalikin kok Wan”, kata ku,”kita terusin dulu dikit lagi nih..”.
“Mas awas lu kallo gak dibalikin..”, teriak Iwan sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“Gue tanggung jawab Wan”, jawabku sambil memberi kode Wida –istri sekaligus make up artis kami-untuk membeli sesuatu.

Setelah dua kali jepretan, Iwan dan Liapun bergegas turun. Wida segera menyodorkan sebungkus kacang pada Iwan, untuk digunakan sebagai tukar guling dengan sandal Iwan. Dengan trik yang begitu simple, (lemparkan kacang kearah mereka, dan mereka akan mengembalikan barangmu) sandal Iwan yang tersanderapun berhasil kami bebaskan.

“Untung gak apa-apa”, gumam Iwan sambil menarik nafas lega, setelah memeriksa sandal barunya yang memang dibeli secara kredit. “Gak perlu sekolah kali, monyet dimana-mana juga tahu, sandal koko gak bisa dimakan, pahit. Mending makan kacang deh”, celetuk Lia. [mtaphotography::karena manusia berharga dan mulia]

Sunrise dan Toilet

by Made Teddy Artiana, S. Kom

MTA PHOTOGRAPHY
[karena manusia mulia dan hidupnya berharga]
teddyartiana_photography@yahoo.com



Kami sudah tiba dilokasi sekitar pukul 04.00 WITA (Bali termasuk wilayah waktu Indonesia bagian tengah). Waktu itu Sanur masih gelap, bukan hanya karena kurangnya lampu disekitar pantai, tetapi memang jam-jam segitu wajarnya sih masih gelap. Waktu terus bertambah, namun dia yang kami tunggu-tunggu belum muncul juga. Sebenarnya sih ia sudah ada sejak tadi, hanya saja kumpulan awan-awan dilangit bersekongkol tidak memberikan kesempatan padanya untuk nongol.

Wajah Dewi dan Anto (bukan nama sebenarnya) tampak kecewa. Betapa tidak, jauh-jauh dari Jakarta, datang ke Pulau Dewata, terus bangun pagi-pagi buta, mendahului ayam Bali, maksud hati ingin prewedding dengan background sunrisenya Sanur, eh justru background utamanya gak ada. Sanurnya sih ada…mataharinya yang gak ada. Apa jadinya sunrise tanpa benda bulat bersinar itu.

“Mas aku ke toilet dulu,” kata Dewi kepadaku, “belum sempet nih buang sampahnya di hotel”.Aku mengangguk tersenyum.

Tetapi kemudian terjadilah sesuatu yang tidak terduga. Entah karena angin yang bertiup kencang, atau karena memang sudah bosan kongkow-kongkow awan-awan itupun menepi, lalu tampaklah Sang Primadona yang kami tunggu-tunggu. Matahari pagi. Sejujurnya, meski sudah tidak terhitung banyaknya melihat sunrise, belum pernah sekalipun aku mengalami hal seperti ini. Tidak hanya suasana pantai dan gradasi warna yang berubah, wajah Anto pun jadi sumringah. Bak karyawan, dibolehin libur tanpa potong cuti sama Boss. Parahnya, Dewi yang lagi nongkrong tidak tahu sedikitpun tentang perkembangan menggembirakan ini.

Kuatir awan-awan segera akan menutupi Sang Surya, aku menganjurkan agar Anto menyusul Dewi ke toilet yang letaknya tidak jauh dari tempat kami menunggu dan menyuruhnya bergegas. Sementara aku dan crew menyiapkan peralatan kami.

Lalu terdengarlah dialog sebagai berikut,
“Yang..mataharinya keluar. Buruan Yang”, teriak Anto
“Tapi aku masih nanggung Babe”, Dewi menyahut dengan suara tertahan seperti layaknya seseorang yang sedang menghimpun kekuatan untuk mendorong sesuatu.
“Nanti aja diterusinnya Yang, mataharinya ntar ketutupan awan lagi lho !!”, balas Anto
“Aduh gimana caranya nih ? suer lagi nanggung banget babe”, jawab Dewi gugup.
“Alaaah..potong aja dulu…ntar dilanjutin”, teriak Anto mulai kesal.
“Ya ampun sabar dong..Babe”,pinta Dewi
“Dasar lelet nih..awas ya kallo sunrisenya gak dapet”, ancam Anto
“Iya sayang..lagi cebook nih”. Kini terdengarlah suara kedombrangan dari dalam toilet, entah apa yang terjadi hanya Dewi yang tahu.
“Dewiiiiiii !!!!!!!!”, teriakan terakhir Anto inilah yang membuat akhirnya Dewi nongol meski dengan nafas terengah-engah, seperti bebek yang baru habis diuber-uber anjing.

Tanpa babibu, Anto segera menyeret Dewi ke tepi pantai lalu bergegas memposisikan diri seperti phose yang ia harapkan. Mengatur posisi tangan, kaki, badan singkatnya segala sesuatu yang biasanya menjadi tugas kami. Sementara Aku dan crew hanya tertawa geli menyaksikan tingkah keduanya.

Setelah kurang lebih satu jam melakukan pemotretan. Dewi bergegas menghampiriku, “Gimana Mas Ted, sudah dapet khan ?”. Aku menyodorkan kamera kepadanya, “Nih liat aja sendiri ya Wi”.

Sejenak mereka berdua terlihat serius mengamat-amati photo-photo sunrise mereka, sambil tersenyum-senyum sendiri.
Tiba-tiba Dewi bertanya,”Mas Teddy..kira-kira perlu lagi gak ?”.
“Lho terserah kalian”, jawabku,”As long as you ready, I’m ready too”.
“Kayanya cukup ya..”, sahut Dewi sambil melirik kearah Anto.
Anto terlihat mengangguk-angguk, tangannya masih terlihat menggenggam kameraku.
“Ya sudah..kallo gitu aku cabut dulu yah”, ujar Dewi sambil bergegas lari kearah toilet.
“Yang..kamu mo ngapain ??”,tanya Anto.
“Lho..khan mau nerusin POTONGAN yang tadi..babe”, ujar Dewi tanpa menoleh kebelakang dan segera menutup pintu toilet.

“HA..HA..HA..HA....!!!!” dan kami semuapun tertawa terbahak-bahak. [mtaphotography::karena manusia berharga dan mulia]

Indra, Mantan Pemalu yang ‘OD’

by Made Teddy Artiana, S. Kom

MTA PHOTOGRAPHY
[karena manusia mulia dan hidupnya berharga]
teddyartiana_photography@yahoo.com



Mengajaknya untuk mau foto prewedding sama susahnya dengan menyeret seekor kambing ke air. Sejujurnya, aku sendiri belum pernah memandikan seekor kambing, kalau anjing, burung atau ayam, pernah. Tapi kata orang-orang tua, memandikan seekor kambing memang susah. Mungkin karena itu, kambing meskipun enak, tapi berbau tidak sedap. Karena jarang mandi. Entahlah, hanya kambing yang tahu mengapa mereka bau. Tetapi sama misteriusnya dengan masalah kambing diatas, clientku yang satu ini juga tidak kalah misteriusnya. Entah apa yang ada dalam pikiran Indra (bukan nama sebenarnya), mungkin hanya ia yang tahu. Mungkin –ini hanya tebakanku- jauh lebih mudah berlari memutari GOR Senayan belasan kali, bagi seorang Indra, dibanding harus harus berdiri menunggu difoto oleh seorang fotografer. Jangankan prewedding, hampir 5 tahun pacaran, Indra dan pacar nya tidak pernah punya foto berdua. Ada sih satu…tapi foto itu hasil guntingan. Maksudnya begini, sebenarnya mereka foto beramai-ramai, kemudian saking pengennya Lia (si cewek) punya foto berdua, dia menggunting semua teman-temannya dan menyisakan mereka berdua. Itupun…Indra berada dalam phose yang jauh dibawah standard. Sama sekali bukan foto yang asyik buat disimpen di dompet. Oh iya satu lagi…jika diperhatikan lebih teliti, ada yang ganjil dengan foto itu. Walaupun samar, tampaklah lengan Lia “mencengkeram” bahu Indra, sangat jelas Indra lebih dari sekedar terpaksa melakukannya. Wajahnya persis seperti Kiki, anak tetanggaku sebelah rumah, yang lagi dimarahin sama embahnya karena ketangkep basah maen hujan. Kasihan…ck..ck..ck..

Meskipun bujuk rayu calon istrinya mungkin sudah melebihi godaan para bidadari menggoda Arjuna yang sedang bertapa. Tetapi Indra melebihi Arjuna. Tak bergeming. Meskipun “godaan” meningkat levelnya – karena BIG BOSS alias calon mertua- ikut serta, Indra tetap keukeuh. Beberapa bulan sudah mereka mencoba membujuk Sang Arjuna, tetapi tidak ada hasilnya. Akhirnya para penggoda kehabisan energi. BeTe abis !! There is no prewedding photo. No way !!! Begitu kira-kira kesimpulan akhirnya. Ingin tahu berapa lama acara bujuk-membujuk dan goda-menggoda itu berlangsung…hampir 1 tahun !!!

Akhirnya atas saran ku, acara photo prewedding itu kami eliminasi. Tetapi setelah beberapa saat terlupakan, tiba-tiba sebuah telepon 'aneh' dipagi yang cerah mengagetkan kami. Coba tebak kira-kira apaan…Indra mengajak photo prewedding !!! Gila..!! Ini benar-benar sebuah kejutan yang luar biasa..seperti bangun pagi hari, terus iseng noleh ke Barat, eh tiba-tiba matahari ada di Barat..nah lho…kaget dong pastinya !

Singkat cerita acara prewedding pun tiba. “Kok bisa..?” tanyaku setengah berbisik pada Lia. Yang ditanya cuma tersenyum, toleh kanan kiri kemudian “Sssssttttt…” sambil telunjuknya ditempelkan di depan bibir. ‘Rahasia’..atau ‘udah nggak usah dibahas’…gitu kira-kira maksudnya. Dan akupun balas tersenyum.

Setengah hari berlangsung..tak dinyana Indra ternyata berubah total. Sungguh perubahan yang dramatis, cenderung mulai mengkawatirkan. Betapa tidak, seorang yang luar biasa pemalu, sekarang malah sok bukan cuman ngarahin gaya, malah ngatur angle !! “Mas Teddy ngambilnya dari sana aja Mas…. Coba deh Mas…”. Aku nyaris tidak percaya dengan apa yang terjadi di depan mata ini. But it’s real !! Malah sekarang Lia mulai agak was-was mengamati gerak-gerik calon suaminya ini…kok semakin genit dan narsis. Dari bersemangat, Lia berubah jadi cemberut..terus mulai uring-uringan..dan meningkat jadi agak emosian. Ada sedikit kecemburuan dan kecurigaan terbersit di matanya. Kemenangan, berubah jadi ancaman serius. Bisa dimengerti sih, kambing-yang tidak pernah mengenal air itu- sekarang malah berenang gaya kupu-kupu di pantai kuta !! Tetapi Si Mantan Pemalu ini seolah nggak peka dan sama sekali tidak menggubris reaksi Lia. Gazzz-waattt !!!
Sampai suatu ketika Indra ngotot untuk mengambil phose sendiri-sendiri. Astaga…gila. Bahkan, Lia yang pengen nimbrung, ditolaknya. “Dik..nanti aja dulu..biar aku dulu”, begitu kilahnya. Bisa dibayangkan shocknya Lia menghadapi perubahan drastis ini. Ini puncaknya. Lia melotot tidak kuasa menahan marah, keqi, curiga dan cemburu kemudian berujar dengan sangat sinis.. “Jadi gini Mas..? Maunya sendiri..yo wis sekalian aku nggak ikutan aja..biar kamu kawin sendiri ae….!!!!!” kemudian balik belakang..ngambek meninggalkan kami. Apa yang terjadi kemudian bisa ditebak..habislah waktu kami beberapa jam untuk membujuk ‘Tuan Putri’ Lia untuk mau melanjutkan foto prewedding.

Indra..Indra…beginilah akibat jika mengkonsumsi obat narsis berlebihan.(end)

Pengalaman “Mengerikan” Di Kota Tua


by Made Teddy Artiana, S. Kom

MTA PHOTOGRAPHY
[karena manusia berharga dan mulia]
e: teddyartiana_photography@yahoo.com


Pilihan jatuh pada lokasi Kota Tua. Bagi yang belum tahu, nama Kota Tua diperuntukan bagi Museum Fatahillah dan sekitarnya. Mengapa disebut “Tua” ya karena memang viewnya klasik banget, maklum peninggalan Zaman Londo.

Kedua calon pengantin yang tengah prewedding itupun sudah bersiap-siap. Mereka typical yang simple. Pakaian casual, biasa seragam nasional prewedding, biru-putih. Bawah jeans biru, atas kemeja putih. Dari wajahnya, tampaknya mereka sangat antusias.

Spot pertama yang kupilih adalah terowongan putih, bangunan berstupa merah itu. Biasanya begitu banyak ‘gelandangan’ ataupun tukang ojek sepeda yang tidur diterowongan ini. Pagi ini terowongan itu bersih. Lumayanlah, tugas nge-rethouch di komputer jadi enteng J

Posisi diatur, dan segera prewedding itupun dimulai. Baru sekitar 5 jepretan. Sebuah teriakan mengagetkan kami.
“Hoooooiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii…Baliiii..........Nah ketangkep basah lu”

Aku terperanjat, mengenali sosok itu dan beberapa mahluk yang tampak nyengir kuda dibelakangnya. Gawat !!! Tiga mobil kijang yang parkir didekat kami tidak lain dan tidak bukan adalah teman-teman dari club fotografiku di BCA. Mereka kebetulan sedang hunting dilokasi ini, dan aku karena ada “tugas” prewedding, terpaksa mbolos alias nggak ikutan. Tapi sial…..mereka memergoki ku ditempat ini.

Pasukan haus motret itupun segera membentuk posisi setengah lingkaran. Apa yang aku kuatirkan terjadi. Terlambat untuk kabur. Clientku terkepung. No way out J. Hanya dapat hitungan detik, kira-kira duapuluh fotografer sudah mengeroyok clientku. Kilatan blitz menyala dimana-mana, Moncong-moncong lensa dari yang pendek hingga yang panjang semua terara ke client ku. Belum lagi teriakan-teriakan khas fotografer.

“Ok mbak miring dikit..yak”
“Senyum..bibir dibuka..tahan”
“Mas berdirinya tegak..oke..”
“Matanya…ngeliat sesuatu dong…”
“wajahnya relaks aja..santai..siaaappp”

Keringat tampak mengalir di kening Si Cowok. Grogi, malu, bingung pasti campur aduk jadi satu. Tapi yang cewek…ini bedanya cowok dan cewek.. seolah selebrity di red carpet…dia bergaya…lupa kallo ini prewedding..lupa sama cowoknya ..pendek kata daratan..ha..ha..ha…maklum cewek.

Karena nggak tahan Si Cowok memberi ku kode supaya memberikan pertolongan. Kasihan…ia terlihat shock berat. Akhirnya akupun turun tangan tidak tega menyaksikan ekspresi memelas dari wajahnya. Pengeroyokan selama setengah jam itupun kelar sudah…setelah berbasa-basi dengan kawan-kawan sebentar akupun mohon diri. Sementara Si Cewek masih senyam-senyum tebar pesona..(tetep)

Sedangkan cowoknya ? Sama sekali beda. Berjalan gontai, dan wajah pucat. Baju lepek sama keringet dingin. Menyeka keringat di jidat sambil menggeleng-gelengkan kepala bergumam…”mengerikan…sungguh-sungguh setengah jam yang mengerikan !!!” (end)
[mtaphotography::karena manusia berharga dan mulia]